ShareThis

RSS

Anugerah Terindah

            Kalau kita coba menelusuri kembali memori kita, mungkin masing-masing kita memiliki kisah beragam tentang bagaimana kita mendapatkan hidayah untuk mengenal Islam lebih dalam dan mengenal Allah lebih dekat. HIDAYAH. Itulah anugerah terindah yang kita miliki. Dengan hidayah, Allah menyisihkan kita dari sebagian besar manusia yang lalai. Menyelamatkan kita dengan memahamkan kita terhadap dienul islam ini. Sementara hampir seluruh umat ini telah jauh dari nilai-nilai Islam. Kita ini, hanyalah sebagian kecil dari jutaan manusia yang mendapatkan nikmat besar berupa hidayah. Satu hal yang sungguh sangat patut kita syukuri.
            Namun, pernahkah kita merenungi, selama rentang waktu berlalu dari start kita memperoleh hidayah. Adakah progress yang berarti? Atau masih ‘gini-gini’ aja alias jalan di tempat? Atau malah semakin jauh waktu berjalan, kita tak ingat lagi aroma segarnya hidayah itu dulu. Sehingga makin lama justru makin melemah, makin layu, dan makin mengalami degradasi.
            Akhwat fillah, marilah kita mengenang kembali, masa-masa penuh semangat dalam berilmu dan beramal. Saat kita begitu menikmati hidayah yang telah Ia berikan. Dimana iradah kita begitu kuat, azzam kita begitu bulat dan jiddiyah kita begitu lekat.
Masih ingatkah kita, dengan cita-cita untuk menjadi seorang mar’ah shalihah dengan militansinya? Berhijrah dari segala bentuk kejahiliyahan yang kita pernah berkubang di dalamnya? Berusaha untuk iltizam terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam kondisi apapun?
            Sungguh, kita pasti berharap … itu semua bukan hanya kenangan di masa lalu. Karena hal itu, seharusnya masih menjadi komitmen kita hari ini, esok dan selamanya.
Akhwat fillah, cukup lama kita menyandang predikat ‘akhwat’, yang melekat di dalamnya kriteria-kriteria tertentu. Standar seorang akhwat. Yang ‘ngaji’, yang terbina, yang paham, yang bahkan telah melalui tahap-tahap alias marhalah tertentu sehingga berbeda dari kebanyakan muslimah pada umumnya. Namun, benarkah kita ini benar-benar ‘akhwat’ sebenarnya?
            Cobalah kita nilai diri kita, dari mulai mata, masihkah ia memandangi ajnabi tanpa suatu keperluan atau kepentingan, sehingga kita merasa biasa untuk tak lagi ber-ghaddul bashar terhadap lawan jenis, entah ’ikhwan’ (dalam tanda kutip!) atau bukan? Apakah kita juga telah menundukkan pandangan mata kita terhadap silaunya perhiasan dunia? Karena jika laki-laki tak tahan godaan wanita, maka wanita tak tahan godaan harta.
            Lisan kita, masihkah kita mengatakan sesuatu terhadap saudara muslim yang lain yang jika ia mendengarnya ia tak suka (baca:ghibah). Sadar atau tak sadar, mungkin kita pernah menyinggung tentang seseorang (baik ketika berbicara berduaan saja dengan teman/suami kita, atau dengan beberapa orang/dalam majelis) yang pada dasarnya hal itu tak perlu kita bicarakan, karena bisa saja merendahkan harga dirinya, merusak nama baiknya, membuatnya kehilangan izzah. Dan yang pasti TAK ADA KEPENTINGANNYA bagi diri kita untuk membahasnya alias tak ada untungnya bagi kita, terutama juga takkan menambah beratnya timbangan kebaikan kita (justru mungkin akan terkurangi). Masihkah pula, lisan kita ini menyakiti hati saudara-saudara kita dengan kata-kata yang meluncur dari lidah yang tak bertulang ini. Sehingga melukai perasaannya, hingga berdarah-darah … Nas’alullahal afiyah! (Ya Allah, kami berlindung dari keburukan lisan-lisan kami, jadikanlah perkataan kami ini sebagai qaulan ma’rufa dan semoga kami termasuk hamba-hamba-Mu yang bisa menjaga lisannya masing-masing).
            Telinga kita, apakah kita hanya diam saja ketika mendengar ‘keburukan’ dan merelakan dua lembar telinga ini untuk mendengarnya? Sudahkah pula kita membiasakan diri untuk selalu memperdengarkan telinga ini pada bacaan tilawah, baik yang kita baca sendiri maupun murottal? Masihkah kita menyempatkan diri untuk memperdengarkan taushiyah dan nasihat-nasihat yang dapat mengishlah diri kita? Atau, begitu sombongnya kita sehingga tak butuh lagi nasihat atau masukan sehingga kemudian merasa lebih dari yang lain dan tak butuh dengan orang lain? Na’udzubillah.
            Hati kita, masihkah ada zhan, ghil, tajassus, hasad, kebencian, dendam, merendahkan, meremehkan terhadap saudara muslim yang lain? Masihkah ada sifat egoisme dalam hati ini sehingga lebih mengutamakan diri sendiri dibandingkan dengan itsar terhadap saudara muslim yang lain?
            Pun, dalam kondisi apakah hati kita ini, apakah lembut dan lapang, ataukah mengeras, membusuk atau membatu? Tenang dan salim, ataukah gelisah dan sakit? Sudahkah kita lebih mengenal Allah, lebih dekat, lebih cinta, lebih kuat dalam ibadah? Sudahkah kita menjadi hamba-hamba-Nya yang ikhlas? Apakah kita tahu apa yang dimaui Allah atas diri kita? Apakah kita paham apa saja yang Allah tak suka jika kita melakukannya? Cintakah kita kepada-Nya melebihi apapun? Adakah rasa takut dan harap pada-Nya yang memenuhi dan meliputi hati kita? Adakah isyq yang menggumpal dalam dada kita untuk memandangi dan menikmati wajah-Nya?
            Tangan kita, apakah kekikiran masih melanda diri kita sehingga kita lebih sering menahan pemberian daripada menyerahkannya? Apakah masih ada keengganan yang menahan tangan kita untuk melakukan kebaikan untuk orang lain dan membantu sesuatu, walau sesepele apapun itu?
            Sudahkah kita memenuhi hak-hak Allah dan kewajiban kita sebagai hamba-Nya? Sudahkah kita menetapi sunnah-sunnah yang diajarkan Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam dan ber-ittiba’ kepada beliau dengan sebenar-benar ittiba’? Dan lain-lain … yang begitu banyak jika disebutkan satu per satu.
            Jika memang masih banyak hal yang jauh dari ‘standar’ akhwat yang ada. Mungkin memang kita harus menganulir keakhwatan kita. Sayang, ternyata kita tak ubahnya seorang wanita ‘biasa’ yang berjubah dan berjilbab lebar. Bukan akhwat sebenarnya. Yang membedakan kita dengan wanita awam pada umumnya, hanyalah pakaian kita! (Semoga saja tak ada diantara kita yang seperti itu. Semoga saja kita ini ‘akhwat’ (dalam tanda kutip!), zhahiran wa bathinan).
            Akhwat fillah, sebelum terlambat (karena ajal senantiasa mengintai!) marilah kita koreksi diri kita. Jangan sampai hidayah itu lambat laun sirna tanpa kita sadari. Hijrah kita kepada al-haq masih dalam perjalanan, belum final. Garis finish masih jauh. ISTIQAMAH adalah satu-satunya cara untuk merawat dan menjaga hidayah itu. Hingga sakaratul maut menjemput. Sehingga, kita pun mati dalam keadaan istiqamah di atas al-haq, mengakhiri hidup dalam keadaan husnul khatimah.
            Kita harus tetap yakin, menguatkan azzam, dan senantiasa menyalakan tungku iradah kita dengan bahan bakar himmah. Bahwa kita, sanggup menjadi seorang ‘akhwat’, sosok seorang mar’ah shalihah, kapanpun itu; baik kemarin, sekarang dan esok … Abadan! Insya Allah, biidznillah …“Rabbana laa tuzigh quluubanaa ba’da idz hadaitanaa wa hablanaa min ladunka rahmatan innaka antal wahhab” (Wahai Rabb kami, janganlah engkau jadikan hati condong kpada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk, dan berilah kami rahmat dari sisi-Mu. sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi (karunia)"

“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal saleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu dan lebih baik kesudahannya.” (QS Maryam : 76). _ummuaman_

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.