ShareThis

RSS

Anugerah Terindah

            Kalau kita coba menelusuri kembali memori kita, mungkin masing-masing kita memiliki kisah beragam tentang bagaimana kita mendapatkan hidayah untuk mengenal Islam lebih dalam dan mengenal Allah lebih dekat. HIDAYAH. Itulah anugerah terindah yang kita miliki. Dengan hidayah, Allah menyisihkan kita dari sebagian besar manusia yang lalai. Menyelamatkan kita dengan memahamkan kita terhadap dienul islam ini. Sementara hampir seluruh umat ini telah jauh dari nilai-nilai Islam. Kita ini, hanyalah sebagian kecil dari jutaan manusia yang mendapatkan nikmat besar berupa hidayah. Satu hal yang sungguh sangat patut kita syukuri.
            Namun, pernahkah kita merenungi, selama rentang waktu berlalu dari start kita memperoleh hidayah. Adakah progress yang berarti? Atau masih ‘gini-gini’ aja alias jalan di tempat? Atau malah semakin jauh waktu berjalan, kita tak ingat lagi aroma segarnya hidayah itu dulu. Sehingga makin lama justru makin melemah, makin layu, dan makin mengalami degradasi.
            Akhwat fillah, marilah kita mengenang kembali, masa-masa penuh semangat dalam berilmu dan beramal. Saat kita begitu menikmati hidayah yang telah Ia berikan. Dimana iradah kita begitu kuat, azzam kita begitu bulat dan jiddiyah kita begitu lekat.
Masih ingatkah kita, dengan cita-cita untuk menjadi seorang mar’ah shalihah dengan militansinya? Berhijrah dari segala bentuk kejahiliyahan yang kita pernah berkubang di dalamnya? Berusaha untuk iltizam terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam kondisi apapun?
            Sungguh, kita pasti berharap … itu semua bukan hanya kenangan di masa lalu. Karena hal itu, seharusnya masih menjadi komitmen kita hari ini, esok dan selamanya.
Akhwat fillah, cukup lama kita menyandang predikat ‘akhwat’, yang melekat di dalamnya kriteria-kriteria tertentu. Standar seorang akhwat. Yang ‘ngaji’, yang terbina, yang paham, yang bahkan telah melalui tahap-tahap alias marhalah tertentu sehingga berbeda dari kebanyakan muslimah pada umumnya. Namun, benarkah kita ini benar-benar ‘akhwat’ sebenarnya?
            Cobalah kita nilai diri kita, dari mulai mata, masihkah ia memandangi ajnabi tanpa suatu keperluan atau kepentingan, sehingga kita merasa biasa untuk tak lagi ber-ghaddul bashar terhadap lawan jenis, entah ’ikhwan’ (dalam tanda kutip!) atau bukan? Apakah kita juga telah menundukkan pandangan mata kita terhadap silaunya perhiasan dunia? Karena jika laki-laki tak tahan godaan wanita, maka wanita tak tahan godaan harta.
            Lisan kita, masihkah kita mengatakan sesuatu terhadap saudara muslim yang lain yang jika ia mendengarnya ia tak suka (baca:ghibah). Sadar atau tak sadar, mungkin kita pernah menyinggung tentang seseorang (baik ketika berbicara berduaan saja dengan teman/suami kita, atau dengan beberapa orang/dalam majelis) yang pada dasarnya hal itu tak perlu kita bicarakan, karena bisa saja merendahkan harga dirinya, merusak nama baiknya, membuatnya kehilangan izzah. Dan yang pasti TAK ADA KEPENTINGANNYA bagi diri kita untuk membahasnya alias tak ada untungnya bagi kita, terutama juga takkan menambah beratnya timbangan kebaikan kita (justru mungkin akan terkurangi). Masihkah pula, lisan kita ini menyakiti hati saudara-saudara kita dengan kata-kata yang meluncur dari lidah yang tak bertulang ini. Sehingga melukai perasaannya, hingga berdarah-darah … Nas’alullahal afiyah! (Ya Allah, kami berlindung dari keburukan lisan-lisan kami, jadikanlah perkataan kami ini sebagai qaulan ma’rufa dan semoga kami termasuk hamba-hamba-Mu yang bisa menjaga lisannya masing-masing).
            Telinga kita, apakah kita hanya diam saja ketika mendengar ‘keburukan’ dan merelakan dua lembar telinga ini untuk mendengarnya? Sudahkah pula kita membiasakan diri untuk selalu memperdengarkan telinga ini pada bacaan tilawah, baik yang kita baca sendiri maupun murottal? Masihkah kita menyempatkan diri untuk memperdengarkan taushiyah dan nasihat-nasihat yang dapat mengishlah diri kita? Atau, begitu sombongnya kita sehingga tak butuh lagi nasihat atau masukan sehingga kemudian merasa lebih dari yang lain dan tak butuh dengan orang lain? Na’udzubillah.
            Hati kita, masihkah ada zhan, ghil, tajassus, hasad, kebencian, dendam, merendahkan, meremehkan terhadap saudara muslim yang lain? Masihkah ada sifat egoisme dalam hati ini sehingga lebih mengutamakan diri sendiri dibandingkan dengan itsar terhadap saudara muslim yang lain?
            Pun, dalam kondisi apakah hati kita ini, apakah lembut dan lapang, ataukah mengeras, membusuk atau membatu? Tenang dan salim, ataukah gelisah dan sakit? Sudahkah kita lebih mengenal Allah, lebih dekat, lebih cinta, lebih kuat dalam ibadah? Sudahkah kita menjadi hamba-hamba-Nya yang ikhlas? Apakah kita tahu apa yang dimaui Allah atas diri kita? Apakah kita paham apa saja yang Allah tak suka jika kita melakukannya? Cintakah kita kepada-Nya melebihi apapun? Adakah rasa takut dan harap pada-Nya yang memenuhi dan meliputi hati kita? Adakah isyq yang menggumpal dalam dada kita untuk memandangi dan menikmati wajah-Nya?
            Tangan kita, apakah kekikiran masih melanda diri kita sehingga kita lebih sering menahan pemberian daripada menyerahkannya? Apakah masih ada keengganan yang menahan tangan kita untuk melakukan kebaikan untuk orang lain dan membantu sesuatu, walau sesepele apapun itu?
            Sudahkah kita memenuhi hak-hak Allah dan kewajiban kita sebagai hamba-Nya? Sudahkah kita menetapi sunnah-sunnah yang diajarkan Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam dan ber-ittiba’ kepada beliau dengan sebenar-benar ittiba’? Dan lain-lain … yang begitu banyak jika disebutkan satu per satu.
            Jika memang masih banyak hal yang jauh dari ‘standar’ akhwat yang ada. Mungkin memang kita harus menganulir keakhwatan kita. Sayang, ternyata kita tak ubahnya seorang wanita ‘biasa’ yang berjubah dan berjilbab lebar. Bukan akhwat sebenarnya. Yang membedakan kita dengan wanita awam pada umumnya, hanyalah pakaian kita! (Semoga saja tak ada diantara kita yang seperti itu. Semoga saja kita ini ‘akhwat’ (dalam tanda kutip!), zhahiran wa bathinan).
            Akhwat fillah, sebelum terlambat (karena ajal senantiasa mengintai!) marilah kita koreksi diri kita. Jangan sampai hidayah itu lambat laun sirna tanpa kita sadari. Hijrah kita kepada al-haq masih dalam perjalanan, belum final. Garis finish masih jauh. ISTIQAMAH adalah satu-satunya cara untuk merawat dan menjaga hidayah itu. Hingga sakaratul maut menjemput. Sehingga, kita pun mati dalam keadaan istiqamah di atas al-haq, mengakhiri hidup dalam keadaan husnul khatimah.
            Kita harus tetap yakin, menguatkan azzam, dan senantiasa menyalakan tungku iradah kita dengan bahan bakar himmah. Bahwa kita, sanggup menjadi seorang ‘akhwat’, sosok seorang mar’ah shalihah, kapanpun itu; baik kemarin, sekarang dan esok … Abadan! Insya Allah, biidznillah …“Rabbana laa tuzigh quluubanaa ba’da idz hadaitanaa wa hablanaa min ladunka rahmatan innaka antal wahhab” (Wahai Rabb kami, janganlah engkau jadikan hati condong kpada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk, dan berilah kami rahmat dari sisi-Mu. sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi (karunia)"

“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal-amal saleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu dan lebih baik kesudahannya.” (QS Maryam : 76). _ummuaman_

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Menjadi Shalihah, Bukan Utopia

Wajah dunia hari ini, menggambarkan potret buram sosok-sosok wanita yang tak menyadari dan memahami predikat muslimah yang disandangnya. Banyak dari mereka yang notabene muslimah, justru berlawanan dengan jati diri muslimah yang sesungguhnya. Sebutan muslimah sekarang ini hanyalah sebatas membedakan agama apa yang dianut, tanpa merefleksikan ajaran agama tersebut. Menemukan figur muslimah nan shalihah hari ini, bagai mencari jarum di tumpukan jerami.

Minimnya Ilmu
Ketidakpahaman sebagian besar muslimah disebabkan oleh minimnya ilmu yang mereka miliki, terutama berkaitan dengan esensi dari makna muslimah itu sendiri. Seorang muslimah seharusnya berusaha untuk belajar serta menimba ilmu tentang makna dan hakikat muslimah, plus konsekuensi yang terkandung di dalamnya.
          Pemahaman tersebut hendaknya dilandasi oleh kesadaran, bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Allah berfirman, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat:56). Dan orientasi yang ia tuju adalah ridha Allah dan surga yang lengkap dengan fasilitasnya, beserta segenap kenikmatan dan keindahannya.
Dalam hal ini, seorang muslimah hendaknya mengetahui bagaimana pemahaman akidah yang benar, berkaitan tentang pengenalannya kepada Allah (ma’rifatullah) baik terhadap rububiyah (kekuasaan, penciptaan serta penjagaan Allah terhadap makhluk-makhluk-Nya) , uluhiyah (bahwa hanya Allah-lah yang berhak diibadahi), dan asma’ wa shifat Allah (nama-nama dan sifat-Nya). Seorang muslimah juga harus mengerti tentang apa-apa yang Allah perintahkan untuk kemudian ia laksanakan, serta apa-apa yang Allah larang untuk kemudian ia jauhi.
         Muslimah juga sepatutnya memahami tentang bentuk-bentuk ibadah yang telah Allah syari’atkan melalui perantaraan Rasul-Nya, Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam. Karena ibadah yang ia tegakkan, tak akan bernilai dan diterima oleh-Nya jika tak memenuhi dua syarat ibadah, yaitu ikhlas dan mutaba’aturrasul (mengikuti apa-apa yang telah dicontohkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam). Dan untuk mengetahui apakah bentuk ibadah yang ia laksanakan sesuai dengan yang diajarkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, hanyalah bisa dilakukan dengan mengilmui dalil-dalil yang ada di dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam.
           Selain itu, muslimah hendaknya juga mempelajari serta merealisasikan akhlaqul karimah (akhlak mulia) yang akan menjadi penghias perilaku dan kepribadiannya. Akhlak ibarat buah yang manis, yang akan dirasakan oleh orang-orang disekelilingnya dan memberikan manfaat serta pengaruh yang baik bagi orang lain. Akhlak juga ibarat wewangian yang menebar keharuman bagi siapa saja yang menghirup aromanya. Akhlak pula yang menjadikan keimanan seseorang sempurna, “Orang beriman yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Muslimah berakhlak akan menjaga hatinya, matanya, lisannya, telinganya, tangan dan kakinya dari segala sesuatu yang mengundang kemurkaan Allah dan membawa madharat bagi dirinya dan orang lain. Sehingga, ia senantiasa mengarahkan setiap bagian tubuhnya untuk membawa kebaikan bagi orang lain dan mencari pahala dari kesantunan akhlaknya. Itulah akhlak muslimah, yang indahnya tiada tara.
             Upaya untuk mempelajari nilai-nilai tersebut, haruslah dilakukan secara konsisten (ajeg) dan kontinyu (terus menerus). Karena perbaikan harus dilakukan setiap waktu, tanpa mengenal kata berhenti, kecuali ajal yang menanti.

Dunia yang Menggoda
Sejak zaman dahulu kala, dunia telah menjadi ujian bagi hamba-hamba-Nya. Kesenangan hidup dan warna-warninya telah membuat banyak orang lalai, terlena dan terbuai. Begitu pula yang melanda para muslimah hari ini. Banyak dari mereka yang menjadi ‘korban’ hedonisme ala barat. Bergaul secara bebas tanpa batas, mengikuti tren mode yang melanggar syariat, bergaya hidup semau gue tanpa peduli dengan aturan dan ketetapan Allah.
           Life style muslimah saat ini tidak lepas dari pengaruh majalah dan tontonan yang mereka konsumsi. Sehingga kedua hal tersebut telah memberikan gambaran dan membentuk pola pemikiran yang menganggap bahwa kehidupan ala barat (yang notabene bertentangan dengan syariat Islam) adalah lebih baik dan lebih menyenangkan. Dengan kata lain, lebih memuaskan hawa nafsu. Karena memang, hawa nafsu manusia cenderung kepada pemuasan syahwat, tak peduli harus melanggar syariat.
         Padahal, berapa banyak kerusakan yang kemudian terjadi pada mereka. Berapa banyak yang kemudian tak lagi malu menonjolkan bagian-bagian tubuhnya yang seharusnya ditutupi, berapa banyak yang kehilangan kehormatan (baik dalam arti keperawanan maupun sudah ‘dipegang-pegang’), ataupun MBA (married by accident alias hamil di luar nikah). Nas’alullah afiyah. Kesenangan dunia dan kebebasannya telah membius mereka. Membuat mereka lupa pada Rabb-nya, bahkan lupa pada diri mereka. Bahwa nantinya mereka akan mempertanggungjawabkan setiap amal mereka, dan akan mendapat balasan yang sesuai dengan perbuatannya.
            Kehidupan yang jauh dari nilai-nilai Islam dan lekat dengan gaya hidup orang-orang kafir, seharusnya tak membuat kita kepincut dan ingin menikmatinya. Karena Allah telah berfirman, “Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (QS Ali ‘Imran:196-197).
          Dan seharusnya, seorang muslimah bersabar atas setiap godaan dunia yang menari-nari dihadapannya. Karena kesabaranlah sebaik-baik sikap dalam sebuah perjuangan menetapi kebenaran. Sabar untuk menaati Allah, sabar untuk tidak bermaksiat kepada Allah, dan sabar dalam ujian yang diberikan Allah. “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melampaui batas.” (QS. Al-Kahfi:28)

Butuh Proses, Bukan Instan
Untuk menjadi muslimah nan shalihah, tentunya tak secepat membuat mi atau kopi kemasan yang serba instan. Butuh proses yang tak sebentar. Hal ini berkaitan dengan transfer ilmu dan nilai keislaman yang harus diserap oleh seorang muslimah, yangmana membutuhkan waktu, ketekunan dan kesungguhan. Dan yang demikian, haruslah muncul dari sebuah tekad (azzam) yang kuat, dan didasari oleh keikhlasan semata. Untuk menggapai ridha Allah, bukan tendensi selainnya.
          Satu hal pula, bahwasanya keberhasilan kita untuk menjadi lebih baik adalah karena taufik dari Allah. “Tidaklah aku bermaksud kecuali (melakukan) perbaikan sesuai dengan kemampuanku. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah-lah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS Huud:88). Oleh karena itu, hendaklah kita selalu berdoa supaya diberikan kemudahan oleh Allah dalam berpegang kepada kebenaran dan menetapinya, di tengah arus kerusakan dan gelombang kemaksiatan yang merajalela. Dan janganlah sekali-kali kita menyandarkan kebaikan diri kita hanyalah karena kemampuan diri kita dan tanpa pertolongan Allah. Karena seluruh kemudahan dan kemampuan yang kita miliki adalah karunia Allah. Semua karena Allah. Tidak ada kemudahan kecuali yang Ia mudahkan dan takkan ada kesulitan jika Ia menjadikannya mudah. La quwwata illa billah. “Wahai Zat Yang Mahahidup, Wahai Zat yang Terus-menerus mengatur hamba-Nya, dengan rahmat-Mu aku memohon perlindungan, dan perbaikilah seluruh keadaanku, serta janganlah Engkau (menjadikan) aku bersandar pada diriku, sekejap matapun” (Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah, no. 27)
          Well, menjadi mar’ah shalihah bukanlah utopia. Meski tidak mudah memang. Tapi bukan berarti sulit sekali dan impossible. Bukankah seorang winner akan berkata : ”It may be difficult, but it’s so possible”, berbeda dengan seorang loser yang akan berkata: “It may be possible, but it’s so difficult”. Yakinlah bahwa kita mampu merealisasikannya, dengan ijin Allah.(Ummu Aman)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Menikah; Antara Nikmat dan Tanggung Jawab

Pernahkah terbesit dalam benak kita tentang indahnya pernikahan? Terbayang-bayang akan nikmatnya menikah dan keberadaan sang suami di sisi. Angan-angan melambung tinggi, hati tentram ada pendampingnya. Bersua dalam suka maupun duka. Namun di sisi yang lain, tatkala kita memikirkan bekal-bekal pernikahan sunnah, Subhanallah…betapa beratnya tanggung jawab seseorang yang berpredikat zaujah (istri), apalagi bergelar ummahat (Ibu). Dia harus berbakti kepada suaminya selama tidak melanggar syar’i, lisannya harus pandai merangkai kata, menyimpan rahasia keluarga, mengatasi masalah tanpa masalah, dan masih banyak lagi segudang kewajiban yang harus dilaksanakan. Betapa banyak wanita yang tergelincir ke naar (neraka) gara-gara tidak taat pada suaminya, melakukan kedurhakaan dan hal-hal yang menyimpang dalam rumah tangga.
             Menikah ternyata bukan sekedar mereguk nikmat, tapi juga meretas jalan panjang penuh tanggung jawab. Bukan hal yang mudah memang. Untuk itu diperlukan strategi-strategi jitu dalam menghadapinya. Di sinilah diperlukan kesiapan bekal ilmu, mental, skill, sosial, dan ekonomi. Menikah adalah medan untuk menunjukkan kemampuan diri dan merealisasikan ilmu yang dimiliki.

Indahnya Menikah, Nikmatnya Tiada Tara Pernikahan memang identik dengan bayangan kenikmatan dan keindahan yang mungkin menjadi suatu hal yang untouchable bagi orang yang belum menikah. Dan pada kenyataannya, menikah memang demikian kurang lebihnya. Bisa dipastikan, hampir tiap pengantin baru akan merasakan hal tersebut dan mengakui bahwa menikah memang indah. Menikah adalah suatu kenikmatan tersendiri bagi mereka. Bahkan ada yang memberikan perumpamaan, menikah itu nggak enaknya 1%, tapi enaknya 99%. Fantastis memang. Dan hal ini, hanya akan dirasakan oleh yang sudah menikah. Tidak bagi mereka yang belum alias married only.
           Begitupula jika kita membaca banyak buku dan literatur yang membahas dan menggambarkan tentang indahnya menikah. Disana akan kita temui sebuah deskripsi yang begitu mempesona dan menggiurkan, hingga membuat hati para lajang tak sabar untuk segera merasakan. Dan yang jelas, pembahasan dan penggambaran tersebut bukanlah propaganda menipu seperti halnya pariwara di layar kaca. Tapi memang sebuah realitas yang dituangkan dalam tulisan untuk memberikan pengetahuan bagi kita, terutama bagi yang belum menikah. Sebagaimana juga yang ditulis oleh Syaikh Mahmud Mahdi Al-Istambuly dalam kitab Tuhfatul ‘Arus-nya. Beliau menuliskan bahwa pernikahan merupakan nikmat Allah atas hamba-Nya. Dimana kehidupan di dunia ini akan menjadi gersang tanpa adanya kesenangan yang menunjang.
               Oleh karena itu, di awal pembahasannya beliau membicarakan mengenai kebijaksanaan Allah yang memberikan kepada manusia kecenderungan atau naluri (ghorizah) terhadap kesenangan, dimana Allah telah memberikan jalan (cara) yang telah Dia tetapkan sebagai penyaluran ghorizah tersebut. Diantaranya adalah pernikahan, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Juga dijadikannya diantaramu mawaddah wa rahmah (rasa kasih dan sayang). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (QS. Ar-Ruum:21). Dan pada ayat yang lain, “Dialah yang menciptakan engkau dari diri yang satu, dan daripadanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya.” (QS. Al-A’raaf:189).
             Kebahagiaan hidup yang bersifat ruhaniah dari seorang suami merupakan kebutuhan yang tidak di dapat kecuali pada diri sang isteri sebagai pendamping hidupnya. Isteri akan menjadi penyejuk mata dan hati bagi suami, pelepas dahaga dan gejolak hasratnya, tempat untuk melabuhkan kasih sayang dan cinta, mengungkap rindu, merajut kemesraan dan meluapkan perasaan yang terdalam. Dan demikian pula sebaliknya seorang istri terhadap suaminya. Ada canda yang menyegarkan, ada kehangatan yang menyejukkan, ada perhatian, ketulusan, ketenangan dan kedamaian. Dan ada rasa yang sungguh tak terlukiskan. Ibarat pepatah, ‘More than words can say’ . Karena memang tak cukup kata-kata untuk mengungkapkan atau mengekspresikannya. Ah, indah nian menikah!

Beratnya Tanggung Jawab Tatkala seorang wanita memutuskan untuk menikah, maka melekatlah pada dirinya jabatan-jabatan yang secara otomatis akan disandangnya. Jabatan-jabatan itu antara lain sebagai istri, manager rumah tangga, cleaner service, koki, bendaharawan, asisten direktur (baca:suami) dan guru bagi anak-anaknya. Dia harus senantiasa melayani ‘sang pemimpin’ selama kurang lebih 24 jam non stop. Di sisi yang lain dia juga menjadi koordinator pelaksana proyek kerja dalam rumah tangganya dan melaksanakan job description-nya dengan baik, serta dituntut untuk dapat mengaktualisasikan skill dan ability-nya dengan sebaik mungkin. Yang jelas, konsekuensi yang akan diterima oleh seorang wanita yang telah menikah bukanlah hal yang main-main.
Karena itulah, menikah bukan sekedar membuai diri dengan kenikmatan dan keindahan serta terus menerus terlena oleh kesenangan-kesenangan yang ditawarkan. Ada nilai yang jauh lebih besar dari sekedar mereguk nikmat dalam menikah yaitu tanggung jawab. Tanggung jawab dan amanah yang diemban merupakan suatu pekerjaan yang besar dan berat. Pentingnya sebuah tanggung jawab dikuatkan pula oleh sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, “Ketahuilah bahwa setiap diri kalian adalah pemimpin, dan kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang pemimpin negara bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya dan akan dimintai pertanggungjawabannya,, seorang suami bertanggung jawab atas anggota keluarga yang dipimpinnya dan akan dimintai pertanggungjawabannya, seorang istri bertanggung jawab atas rumah tangga dan anak-anaknya dan akan dimintai pertanggungjawabannya.” (HR. Bukhori dari Abdullah bin Umar).
        Sebagaimana disebutkan oleh Dr. Muhammad bin Muhammad Aba Bathin dalam Al-Mar’ah Al-Muslimah fi Manzilihaa, yang membahas tentang tugas wanita muslimah di dalam rumah, bentuk-bentuk tugas dan tanggung jawab seorang istri dan ibu diantaranya adalah melayani suami dan selalu mencari keridhoan suami selama tidak bermaksiat kepada Allah dan senantiasa memberikan yang terbaik untuk rumah tangga dan keluarganya, mengurus, mengatur, menata dan membersihkan rumah, menyiapkan makanan yang terjaga kehalalan dan ke-thoyyib-annya dan menyiapkan keperluan anggota keluarga seperti menyiapkan pakaian yang syar’i dan perlengkapan lainnya. Ketika ia dikaruniai Allah seorang anak dia juga perlu tahu bagaimana cara mengurus anak, mendidiknya baik dari aspek ruhani/keimanan, akhlak, sosial, jasmani dan seksual, merawatnya serta memilihkan tempat pendidikan yang baik untuknya dan lain-lain.
            Dalam perjalanan menempuh kehidupan rumah tangga dan pelaksanaan tanggung jawab di dalamnya dibutuhkan kedewasaan sikap, kematangan ilmu dan pola berpikir. Hal ini akan menjadi modal awal yang baik untuk memahami dan kemudian melaksanakan tanggung jawab ini. Sehingga kita merasa mudah untuk melintasinya tanpa beban. Dan untuk menuju kesana diperlukan sebuah proses, bukan instan. Untuk bisa memilikinya, tak semudah membalikkan telapak tangan.
         Karena itu bersabarlah dalam berproses mewujudkannya, karena tak jarang segala sesuatu pasti membutuhkan poses dan bertahap. Butuh waktu untuk bisa merealisasikannya. Satu hal yang harus pula kita yakini bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada kemudahan kecuali yang Ia mudahkan. Dan hanya dengan ijin-Nya segala sesuatu dapat kita wujudkan. (Ummu Aman)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Muslimah Meraih Jannah

Keberadaan wanita di bumi Allah adalah sebagai hamba Allah, tidak berbeda dengan keberadaan kaum pria di sisi Allah. Bagi wanita maupun pria, bila mereka beriman kepada Allah maka balasannya jannah (surga), dan jika mereka kafir maka balasannya adalah adzab yang sangat pedih, dalam firman Allah : "Barangsiapa mengerjakan amal sholeh, baik laki -laki maupun perempuan dalam kedaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan" (QS. An-Nahl:97).
Mendapatkan jannah dan menjadi penghuninya merupakan cita-cita dan orientasi hidup seorang muslim. Karena tidak ada kesudahan yang lebih baik di akhirat nanti kecuali jannah. Yang keindahannya tidak pernah terjangkau oleh akal manusia sebelumnya. Yang digambarkan dengan “Laa ainun ro’at, walaa udzunun sami’at, walaa khothoro ‘alaa qolbi basyar”. Tidak pernah terlilihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas di hati. Subhanallah !

Kabar Gembira bagi Muslimah Bagi kaum wanita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah menyampaikan sebuah kabar gembira bagi para muslimah pemburu jannah. Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : " Apabila seorang wanita melakukan sholat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhon, menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka akan dikatakan kpdnya, " Masuklah ke dalam surga lewat pintu surga yang mana saja engkau kehendaki" (Hadits shohih, diriwayatkan oleh Ahmad I/191, Abu Nu’am 6/308 dalam Al-Hilyah dari hadits Ibnu Auf, Ibnu Hibban 4151, dari hadits Abu Hurairah dan Ath-Thabrani dalam Al-Majma’ serta Al-Bazzar). Dalam hadits tersebut Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjelaskan tentang sebab-sebab yang bisa mengantarkan mereka meraih Jannah Allah. Sebab-sebab tersebut sebagaimana dijelaskan berikut :

Pertama, shalatnya seorang muslimah setiap lima waktu.
Ash-Sholatu ‘imaaduddien. Shalat adalah tiang dien (agama). Barangsiapa menegakkannya maka dia telah menegakkan dien dan barangsiapa yang menegakkannya maka dia telah meruntuhkan dien. Allah telah memperingatkan kita dalam firman-Nya : “Maka datanglah sesudah mereka pengganti (yang buruk) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya maka kelak mereka akan menemui kesesatan.” (QS. Al-Maryam:59). Ibnu Abbas radhiyallahuanhu berkata : “Menyia-nyiakan shalat bukan berarti meninggalkannya sama sekali, akan tetapi mengakhirkan dari waktunya.” Dengan demikian, tidaklah pantas seorang muslimah lalai terhadap sholatnya dengan sibuk atau dengan alasan-alasan yang tidak syar’i. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan ak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah, barangsiapa yang berbuat demikian maka ia termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqin:9). Para mufassirin berkata bahwa yang dimaksud dengan mengingat Allah dalam ayat ini adalah sholat lima waktu. Oleh karena itu, hendaknya kita menjaga sholat pada waktunya, melaksanakan sholat dengan khusyu’ dan memenuhi adab-adabnya serta sunnah-sunnahnya sehingga kita bisa mendapatkan tiket masuk jannah.

Kedua, shoumnya seorang muslimah pada bulan Ramadhan.
Allah telah mewajibkan mepada kita untuk menjalankan ibadah shoum (puasa) di bulan Ramadhan, “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. Yaitu dalam beberapa hari tertentu (beberapa hari yang ditentukan) adalah bulan Ramadhan …”(QS. Al-Baqarah:183-184). Keutamaan shoum sangat banyak. Diantaranya adalah bahwa shoum dapat menjaga pelakunya dari kemaksiatan serta dapat memeliharanya dari panasnya api naar (neraka). Shoum yang dimaksud disini adalah shoum yang tidak hanya sekedar tidak makan dan minum akan tetapi juga memperhatikan adab-adab shoum dan sunnah-sunnahnya. Seperti meninggalkan ucapan kotor dan sia-sia, menghindari perbuatan yang tidak bermanfaat, menjaga amarah dan mengendalikan nafsu.

Ketiga, kesucian seorang wanita dengan menjaga kehormatannya.
Hakikat sebab yang ketiga adalah hendaknya seorang muslimah menjaga kesucian dan kehormatannya dengan menjauhi segala hal yang dapat menyeretnya kepada hilangnya penjagaan tersebut. Seorang muslimah yang bertakwa, dia selalu mengetahui bahwa kadar kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, izzah (harga diri), kemuliaan dan keutamaan yang ia miliki, tergantung pada sejauh mana ia menjaga kesucian dan kehormatannya. Adapun wanita yang jahil yang tidak menjaga kesucian dirinya, maka dia tidak akan peduli dengan kehormatannya, suka keluar rumah tanpa menutup auratnya dan memamerkan keindahan tubuhnya (ber-tabarruj), menebar wewangian dari parfum yang ia semprotkan pada tubuhnya, memerdukan suara terhadap lawan jenisnya, sehingga ia dapat menjadi penyebab timbulnya fitnah dan tergodanya para laki-laki. Karena itu, hendaklah kita menjaga kesucian diri dan kehormatan kita dimanapun kita berada, yang dengannya kita dapat meraih jannah.

Keempat, ketaatan kepada suami dalam hal yang bukan maksiat kepada Allah.
Taat kepada suami termasuk akhlak mulia yang menjadikan keutamaan dan kebahagiaan baginya dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam telah mengajarkan kepada kita bahwa salah satu jalan “pintas” menuju jannah adalah dengan melakukan ketaatan kepada suaminya, setelah ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Banyak sekali nash-nash yang menerangkan hal ini. Oleh karena itu, menaati suami bukanlah hal yang mudah. Patuh terhadap suami dan menaatinya secara totalitas (dalam hal yang ma’ruf) tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Karena dalam melakukan ketatan ini dia harus berhadapan dengan dirinya sendiri. Ia harus dapat melawan egoisme dirinya, menekan dominasi eksistensinya dan harus berlapang dada, mengalahkan keinginan-keinginan pribadinya dan berusaha untuk selalu membuat suami bahagia meskipun dia harus mengorbankan perasaannya, tidak membangkang dan bersikap konfrontatif (bhs jawa-ngeyelan) serta dapat menempatkan diri sesuai dengan kondisi suami. Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk ketaatan yang harus dilakukan oleh seorang istri yang sholihah. Karenanyalah taat pada suami menjadi sarana untuk menggapai mardhotillah dan meraih jannah. Begitupula suami, sebagai seorang mu’min yang baik, suami akan menjadikan kebahagiaan dan ketenangan menyelimuti rumah tangganya. Ia akan mendidik, membimbing dan mengiringi keluarganya dalam menjalankan syari’at Allah dan melakukan ketaatan kepada-Nya. Seorang suami yang sholih tidak akan mendholimi istrinya dengan membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak sanggup menanggungnya, menghargai diri dan perasaan istri, menyayangi, menjaga dan melindunginya, mememenuhi hak-haknya dan menghormati serta memuliakannya. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, “Tidak akan memuliakan wanita kecuali laki-laki yang mulia”. Dan yakinlah bahwa Allah akan memberikan kepada kita suami yang baik apabila kita juga baik. Karena hanya wanita yang baik yang akan mendapat suami yang baik pula.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Menahan Pandangan



 Di sebuah kos-kosan muslimah, terdengar riuh rendah para akhawat yang sedang memperbincangkan profil sosok ikhwan mujahidin yang dimuat dalam sebuah majalah Islam. Artikel tersebut juga menampilkan foto close up seorang mujahid bule berkebangsaan Amerika lengkap dengan kafayeh yang ia kenakan dan jenggotnya yang menjuntai. Membuat para akhawat tersebut saling mengangsurkan majalah untuk melihat wajah sang mujahid. “Deuh, cakep banget ya!” celetuk salah seorang akhwat sambil terus menatap wajah ikhwan mujahid tersebut dan menikmati pesonanya.
                Memandang memang aktivitas yang tidak bisa lepas dari keseharian kita sebagai manusia normal. Namun, memandang ternyata tak bisa seenak kita sendiri. Melepaskan begitu saja pandangan mata tanpa mengarahkannya dengan tepat. Bahkan mereka yang notabene bergelar akhwat. Figur muslimah yang paham din dan mengamalkan syariat. Kasus yang terjadi pada ilustrasi diatas adalah contoh bahwa jebakan pandangan ada di mana-mana. Membuat mata tergerak untuk menjatuhkan pandangan pada sesuatu yang sebenarnya tak perlu atau tak sepatutnya untuk terus-menerus dipandangi. Sekedar pandangan tiba-tiba atau tidak sengaja adalah maklum, karena setelahnya ia akan memalingkan pandangannya. Namun jika dengan sengaja memandang, mencuri pandang apatah lagi mengamati dengan cermat tanpa adanya suatu keperluan yang menghajatkannya, pastinya adalah suatu hal yang tak seharusnya dilakukan.
               
Dari Mata Turun ke Hati
                Pandangan mata ibarat sebuah saluran yang terhubung dengan hati. Barang siapa yang mampu menjaga pandangannya dari hal-hal yang diharamkan atau yang mengarah kepada keharaman, maka akan baguslah hatinya karena hanya yang baik-baik saja yang memasuki saluran itu. Namun, jika pandangan diumbar dan dibiarkan memandang sesuatu yang tidak sepatutnya dilihat, maka hati tersebut tak ubahnya tempat sampah yang dipenuhi kotoran dan kebusukan.
                Demikian pula, pandangan merupakan cerminan bagi hati. Seseorang yang hatinya bersih akan dapat dengan mudah mengontrol pandangannya dan menjaganya. Sebaliknya, orang yang hatinya sakit atau bahkan mati, maka pandangannya akan lepas tanpa batas, liar tanpa kendali dan bebas memandang sesukanya.
                Pandangan mata bisa menjadi awal bencana bagi pemiliknya. Bermula dari pandangan inilah yang akan lahir keinginan, dan keinginan akan melahirkan pemikiran. Dari pemikiran tersebut lahirlah syahwat (hawa nafsu) yang pada akhirnya syahwat itu akan mendorong menjadi keinginan yang sangat kuat hingga terjadilah apa yang diinginkan oleh nafsunya. Sebuah pepatah berkata, darimana datangnya lintah, dari sawah turun ke kali, darimana datangnya cinta, dari mata turun ke hati. Hanya dengan memandang, seseorang bisa terjangkit fitnah hati yang seringkali lebih sulit mengobatinya daripada mengantisipasinya.
                Karena itulah, Allah memerintahkan untuk senantiasa ghadhdhul bashor, yaitu menjaga, menahan atau menundukkan pandangannya dari perkara-perkara haram yang tak boleh dilihat. Tak hanya kepada para ikhwan yang efek pandangan bisa menjadi ‘luar biasa’ bagi mereka. Para akhawat pun secara khusus diperintahkan Allah untuk melakukan ghadhdhul bashor. “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya..” (QS. An-Nuur: 31). Dengan menjaga pandangan, berbagai macam penyakit dan fitnah hati dapat dicegah dan diantisipasi.
               
Hati-hati dengan Pandangan
                Banyak hal bisa menjadi perangkap bagi kita dalam memandang. Dengan alasan sudah menikah dan ‘terbentengi’, kemudian merasa sudah berada di wilayah aman untuk melonggarkan pandangan melihat lawan jenis. Ia berpikir, toh saya sudah menikah, jadi ya nggak akan ada efek apa-apa kalau mau memandang ikhwan. Padahal, menikah atau belum menikah, keharusan ghaddhul bashar masih melekat pada dirinya.
                Menjaga pandangan umumnya hanya karena bertemu dan bertatap langsung. Tapi hari ini, ketika arus teknologi informasi semakin deras mengalir pesat, tanpa harus bertemu dan bertatap pun, perangkap pandangan ada di mana-mana dan siap untuk membuat kita terjebak di dalamnya.
                Ketika para ikhwan harus mampu menahan pandangan di saat berselancar di dunia maya—karena bisa saja tergoda dengan banyaknya gambar atau foto bertebaran yang menampilkan wanita-wanita baik berkerudung atau tidak—para akhwat pun demikian. Meski tidak hanya dunia maya, karena bisa jadi televisi, film, koran atau majalah yang kita konsumsi memuat gambar atau foto yang bisa menjebak pandangan kita pada sesuatu yang mengarah pada keharaman, atau menampilkan sebuah aktivitas kemungkaran (para wanita yang menampakkan auratnya secara terbuka, berpelukan/berciuman dengan lawan jenis, dan lainnya). Di saat-saat itulah, ketika kita membaca koran atau majalah, sedang berada di depan layar komputer, laptop ataupun TV. Kondisikan hati terpaut dengan Allah pada saat-saat itu terutama ketika sendiri, jangan sampai kita memandangi atau menikmati gambar atau tayangan yang tak patut jika kita melihatnya. Malu dan saru kalau harus dipandangi oleh kedua mata kita.  
                Apalagi, jika kita sadar betul bahwa Allah selalu mengawasi kita. Senantiasa mengetahui ke arah mana bola mata ini berputar mengarahkan pandangannya. “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi di dalam dada.” (QS. Al Mu'min [40]: 19). Mestinya, kita akan berusaha menjaga mata ini dengan sebaik-baiknya.
Apalagi, penglihatan kita akan dimintai pertanggungjawaban nantinya. Hati-hati menjaga pandangan ! (Ummu Aman)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Shalihah Lahir Batin



Diantara berbagai perhiasan dunia ini, wanita shalihah merupakan perhiasan terbaik, sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadits, “Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah” (HR Muslim).
Shalihah adalah kata sifat yang berarti baik. Wanita shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Muslimah shalihah merupakan sosok pribadi yang telah tercelup oleh celupan (shibghah) keimanan. Ia menghambakan diri kepada Allah dan senantiasa berusaha menetapi setiap hal yang telah disyari’atkan-Nya. Apapun yang diperintah Allah, ia akan berupaya maksimal untuk merealisasikannya. Dan apapun yang dilarang Allah, sebisa mungkin ia tinggalkan. Hatinya diliputi oleh ketakwaan. Hati yang terbebas dari penyakit dan kebusukan. Hati yang bersih dari obsesi dan ambisi duniawi yang semu. Karena ia sadar, hanya di sisi Allah-lah keutamaan dan kemuliaan. Sadar bahwa ridha Allah dan jannah-Nya adalah tujuan utama kehidupan.

Muslimah Shalihah, Bersih Hatinya
            Hati adalah pusat kebaikan pribadi seseorang. Jika hati seseorang baik, maka baiklah seluruh jasadnya. Sebaliknya, jika hatinya buruk maka buruklah seluruh jasadnya. Kelurusan hati juga menjadi faktor penentu keselamatan seseorang di akhirat nanti. “(yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS Asy-Syu’ara’:88-89). Dengan demikian, profil shalihah tak bisa dipisahkan dari pribadi muslimah yang berhati lurus dan berjiwa bersih.  
Karena itulah, perbaikan dan pembersihan hati dari noda-noda dan virus yang menjangkitinya haruslah senantiasa dilakukan. Agar hati bersih dari segala kotoran dan penyakit yang mengancam. Hati juga harus dijaga dari berbagai bentuk bujuk rayu setan, yang kerap menjadikan  hawa nafsu sebagai tunggangannya.
Muslimah shalihah harus memiliki hati yang bersih dan jiwa yang suci, dengan segenap usaha terbaik yang bisa dilakukan. Kebersihan hati dan jiwa adalah pondasi untuk meraih keselamatan dunia dan akhirat. Hati yang bersih dan lurus juga berfungsi sebagai kunci untuk mendapatkan kebahagiaan hidup. Bahkan hanya dengan cara membersihkan hati dari segala bentuk kesyirikan dan hawa nafsu, lalu menundukkannya untuk menghamba kepada Allah dan menjadikan-Nya satu-satunya Ilah (sesembahan), hati seseorang dapat berbahagia.
Karena, ia telah menjadikan Allah sebagai tujuan hidupnya dan ia tidak bersandar atas apapun dan siapapun selain Allah. Ia bebas dari segala hal kecuali yang berkaitan dengan Allah. Ia hidup atas keyakinan dan ketergantungan hanya kepada Allah. Ia menjadikan Allah sebagai tempat untuk berserah diri, dengan penuh rasa cinta, pengagungan, ketaatan, ketundukan, merendahkan diri, penuh rasa takut dan berharap, serta bertawakal kepada-Nya. Tanpa itu semua, kebahagiaan yang dirasakan seseorang hanyalah bahagia semu dan fatamorgana.
Dengan demikian, penyebab utama hidupnya hati dan kebersihannya adalah tauhid (mengesakan Allah). Hati akan senantiasa damai jika seseorang memerdekakan hatinya dari setiap bentuk perbudakan dan menjadikan Allah sebagai puncak keinginan dan kecintaan, serta menjadikan-Nya satu-satunya Zat yang diibadahi.
            Dan jika segala sesuatunya kita kembalikan kepada Allah, maka akan hilanglah segenap duka dan seluruh gundah gulana yang ada. Hati akan diliputi dengan ketenangan dan kekhusyukan. Bila suatu saat merasakan penderitaan di jalan-Nya, maka itulah pengorbanan untuk Dzat yang kita cintai. Dan berkorban untuk Dzat yang dicintai, menjadi suatu nikmat tersendiri. Jika bahaya mengancam diri, maka jiwa akan aman dan tentram dalam perlindungan-Nya. Yakin sepenuhnya, bahwa keselamatan dan kemadharatan adalah kekuasaan Allah semata, yang hanya akan terjadi atas izin-Nya. Kalaupun kehidupan dunia tak berpihak padanya dan diliputi kesengsaraan serta kesulitan hidup, maka rasa harap atas pahala kesabaran dan keindahan jannah-Nya menjadikan hidupnya terasa ringan dan mudah.     
             
Pribadi yang Utuh
            Seorang muslimah shalihah digambarkan Al-Qur’an sebagai sesosok pribadi yang memiliki jiwa yang tinggi dan berkepribadian utuh. Semakin ia menaati Allah, maka semakin utuh-lah pribadinya dan makin tinggilah jiwanya.
            Gambaran tentang sosok tersebut adalah pribadi yang di dalam dirinya menancap kalimat thayyibah, yaitu laa ilaaha ilallah. Seseorang yang pemahaman laa ilaaha ilallah begitu kuat tertanam pada dirinya, diibaratkan seperti pohon yang baik.
öNs9r& ts? y#øx. z>uŽŸÑ ª!$# WxsWtB ZpyJÎ=x. Zpt6ÍhŠsÛ ;otyft±x. Bpt7ÍhsÛ $ygè=ô¹r& ×MÎ/$rO $ygããösùur Îû Ïä!$yJ¡¡9$# ÇËÍÈ   þÎA÷sè? $ygn=à2é& ¨@ä. ¤ûüÏm ÈbøŒÎ*Î/ $ygÎn/u 3 ÛUÎŽôØour ª!$# tA$sWøBF{$# Ĩ$¨Y=Ï9 óOßg¯=yès9 šcr㍞2xtGtƒ ÇËÎÈ  
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik, seperti pohon yang baik; akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabb-nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS Ibrahim:24-25).
            Pohon yang diibaratkan dalam ayat tersebut, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, adalah pohon kurma. Sebagaimana kita ketahui, pohon kurma merupakan pohon yang kuat dengan akar yang kokoh, batang yang menjulang tinggi dan buahnya yang bermanfaat dan lezat di setiap musimnya.
            Ibarat pohon dengan akar teguh, cabangnya menjulang ke langit dan memberikan buahnya pada setiap musim, adalah sesosok pribadi muslimah yang memiliki kekuatan akidah yang menghunjam, ibadahnya tinggi dan hatinya ‘terikat dengan langit’, serta akhlaknya manis pada setiap kesempatan, yangmana manis akhlaknya dapat dirasakan oleh orang-orang di sekelilingnya.
            Kepribadian shalihah adalah sesuatu yang terangkum dalam lahiriyah dan batiniah seorang muslimah. Sosok mar’ah shalihah tidak hanya tampak pada lebarnya jilbab dan jubah, namun juga cemerlangnya hati dan jiwa. Pun, kelurusan batin serta ruhiyah pasti terefleksikan pada penampilan lahiriyah yang terwarnai oleh syariat Islam dan akhlak karimah. Wallahu a’lam. (Ummu Aman)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Diberdayakan oleh Blogger.