Kalau kita coba menelusuri kembali
memori kita, mungkin masing-masing kita memiliki kisah beragam tentang
bagaimana kita mendapatkan hidayah untuk mengenal Islam lebih dalam dan
mengenal Allah lebih dekat. HIDAYAH. Itulah anugerah terindah yang kita miliki.
Dengan hidayah, Allah menyisihkan kita dari sebagian besar manusia yang lalai.
Menyelamatkan kita dengan memahamkan kita terhadap dienul islam ini. Sementara
hampir seluruh umat ini telah jauh dari nilai-nilai Islam. Kita ini, hanyalah
sebagian kecil dari jutaan manusia yang mendapatkan nikmat besar berupa
hidayah. Satu hal yang sungguh sangat patut kita syukuri.
Namun, pernahkah kita merenungi,
selama rentang waktu berlalu dari start kita memperoleh hidayah. Adakah
progress yang berarti? Atau masih ‘gini-gini’ aja alias jalan di tempat? Atau
malah semakin jauh waktu berjalan, kita tak ingat lagi aroma segarnya hidayah
itu dulu. Sehingga makin lama justru makin melemah, makin layu, dan makin
mengalami degradasi.
Akhwat fillah, marilah kita
mengenang kembali, masa-masa penuh semangat dalam berilmu dan beramal. Saat
kita begitu menikmati hidayah yang telah Ia berikan. Dimana iradah kita begitu
kuat, azzam kita begitu bulat dan jiddiyah kita begitu lekat.
Masih
ingatkah kita, dengan cita-cita untuk menjadi seorang mar’ah shalihah dengan
militansinya? Berhijrah dari segala bentuk kejahiliyahan yang kita pernah
berkubang di dalamnya? Berusaha untuk iltizam terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah
dalam kondisi apapun?
Sungguh, kita pasti berharap … itu
semua bukan hanya kenangan di masa lalu. Karena hal itu, seharusnya masih
menjadi komitmen kita hari ini, esok dan selamanya.
Akhwat
fillah, cukup lama kita menyandang predikat ‘akhwat’, yang melekat di dalamnya
kriteria-kriteria tertentu. Standar seorang akhwat. Yang ‘ngaji’, yang terbina,
yang paham, yang bahkan telah melalui tahap-tahap alias marhalah tertentu
sehingga berbeda dari kebanyakan muslimah pada umumnya. Namun, benarkah kita
ini benar-benar ‘akhwat’ sebenarnya?
Cobalah kita nilai diri kita, dari
mulai mata, masihkah ia memandangi ajnabi tanpa suatu keperluan atau
kepentingan, sehingga kita merasa biasa untuk tak lagi ber-ghaddul bashar
terhadap lawan jenis, entah ’ikhwan’ (dalam tanda kutip!) atau bukan? Apakah
kita juga telah menundukkan pandangan mata kita terhadap silaunya perhiasan
dunia? Karena jika laki-laki tak tahan godaan wanita, maka wanita tak tahan
godaan harta.
Lisan kita, masihkah kita mengatakan
sesuatu terhadap saudara muslim yang lain yang jika ia mendengarnya ia tak suka
(baca:ghibah). Sadar atau tak sadar, mungkin kita pernah menyinggung tentang
seseorang (baik ketika berbicara berduaan saja dengan teman/suami kita, atau
dengan beberapa orang/dalam majelis) yang pada dasarnya hal itu tak perlu kita
bicarakan, karena bisa saja merendahkan harga dirinya, merusak nama baiknya,
membuatnya kehilangan izzah. Dan yang pasti TAK ADA KEPENTINGANNYA bagi diri
kita untuk membahasnya alias tak ada untungnya bagi kita, terutama juga takkan
menambah beratnya timbangan kebaikan kita (justru mungkin akan terkurangi).
Masihkah pula, lisan kita ini menyakiti hati saudara-saudara kita dengan
kata-kata yang meluncur dari lidah yang tak bertulang ini. Sehingga melukai
perasaannya, hingga berdarah-darah … Nas’alullahal afiyah! (Ya Allah, kami
berlindung dari keburukan lisan-lisan kami, jadikanlah perkataan kami ini
sebagai qaulan ma’rufa dan semoga kami termasuk hamba-hamba-Mu yang bisa
menjaga lisannya masing-masing).
Telinga kita, apakah kita hanya diam
saja ketika mendengar ‘keburukan’ dan merelakan dua lembar telinga ini untuk
mendengarnya? Sudahkah pula kita membiasakan diri untuk selalu memperdengarkan
telinga ini pada bacaan tilawah, baik yang kita baca sendiri maupun murottal?
Masihkah kita menyempatkan diri untuk memperdengarkan taushiyah dan
nasihat-nasihat yang dapat mengishlah diri kita? Atau, begitu sombongnya kita
sehingga tak butuh lagi nasihat atau masukan sehingga kemudian merasa lebih
dari yang lain dan tak butuh dengan orang lain? Na’udzubillah.
Hati kita, masihkah ada zhan, ghil,
tajassus, hasad, kebencian, dendam, merendahkan, meremehkan terhadap saudara
muslim yang lain? Masihkah ada sifat egoisme dalam hati ini sehingga lebih
mengutamakan diri sendiri dibandingkan dengan itsar terhadap saudara muslim
yang lain?
Pun, dalam kondisi apakah hati kita
ini, apakah lembut dan lapang, ataukah mengeras, membusuk atau membatu? Tenang
dan salim, ataukah gelisah dan sakit? Sudahkah kita lebih mengenal Allah, lebih
dekat, lebih cinta, lebih kuat dalam ibadah? Sudahkah kita menjadi
hamba-hamba-Nya yang ikhlas? Apakah kita tahu apa yang dimaui Allah atas diri
kita? Apakah kita paham apa saja yang Allah tak suka jika kita melakukannya?
Cintakah kita kepada-Nya melebihi apapun? Adakah rasa takut dan harap pada-Nya
yang memenuhi dan meliputi hati kita? Adakah isyq yang menggumpal dalam dada
kita untuk memandangi dan menikmati wajah-Nya?
Tangan kita, apakah kekikiran masih
melanda diri kita sehingga kita lebih sering menahan pemberian daripada
menyerahkannya? Apakah masih ada keengganan yang menahan tangan kita untuk
melakukan kebaikan untuk orang lain dan membantu sesuatu, walau sesepele apapun
itu?
Sudahkah kita memenuhi hak-hak Allah
dan kewajiban kita sebagai hamba-Nya? Sudahkah kita menetapi sunnah-sunnah yang
diajarkan Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam dan ber-ittiba’ kepada beliau
dengan sebenar-benar ittiba’? Dan lain-lain … yang begitu banyak jika
disebutkan satu per satu.
Jika memang masih banyak hal yang
jauh dari ‘standar’ akhwat yang ada. Mungkin memang kita harus menganulir
keakhwatan kita. Sayang, ternyata kita tak ubahnya seorang wanita ‘biasa’ yang
berjubah dan berjilbab lebar. Bukan akhwat sebenarnya. Yang membedakan kita
dengan wanita awam pada umumnya, hanyalah pakaian kita! (Semoga saja tak ada
diantara kita yang seperti itu. Semoga saja kita ini ‘akhwat’ (dalam tanda
kutip!), zhahiran wa bathinan).
Akhwat fillah, sebelum terlambat
(karena ajal senantiasa mengintai!) marilah kita koreksi diri kita. Jangan sampai
hidayah itu lambat laun sirna tanpa kita sadari. Hijrah kita kepada al-haq
masih dalam perjalanan, belum final. Garis finish masih jauh. ISTIQAMAH adalah
satu-satunya cara untuk merawat dan menjaga hidayah itu. Hingga sakaratul maut
menjemput. Sehingga, kita pun mati dalam keadaan istiqamah di atas al-haq,
mengakhiri hidup dalam keadaan husnul khatimah.
Kita
harus tetap yakin, menguatkan
azzam, dan senantiasa menyalakan tungku iradah kita dengan bahan bakar
himmah.
Bahwa kita, sanggup menjadi seorang ‘akhwat’, sosok seorang mar’ah
shalihah,
kapanpun itu; baik kemarin, sekarang dan esok … Abadan! Insya Allah,
biidznillah …“Rabbana
laa tuzigh quluubanaa ba’da idz hadaitanaa wa hablanaa min ladunka
rahmatan
innaka antal wahhab” (Wahai Rabb kami, janganlah engkau jadikan hati
condong kpada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk, dan berilah kami
rahmat dari sisi-Mu. sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi (karunia)"
“Dan
Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan
amal-amal saleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu dan lebih
baik kesudahannya.” (QS Maryam : 76). _ummuaman_