ShareThis

RSS

Menikah dan Iqamatuddin



Menikah bukanlah sebatas menyalurkan kebutuhan biologis akan lawan jenis. Menikah juga bukan keceriaan sesaat karena tercapainya sebuah keinginan yang lama terpendam. Pun menikah bukan hanya punya banyak anak atau memiliki rumah lengkap dengan perabotnya. Bukan sebatas itu.
                Dalam pernikahan terkandung seperangkat visi dan misi yang melintasi masa dan usia. Menikah adalah menggenapkan setengah din, menciptakan kolaborasi potensi antara suami dan istri untuk tegaknya kalimat Allah di muka bumi.
                                               
Menikah Bukan Hambatan
                Menikah dan iqamatuddin adalah dua sinergi yang saling mendukung. Namun, seringkali problematika mulai muncul ketika seorang akhwat memasuki gerbang pernikahan. Seolah dengan menikahnya seorang akhwat, tugas dan amanah dakwahnya atas ummat mencapai titik finish. 
                Sebagai muslimah yang telah menikah, seharusnya kita tetap berusaha untuk mengambil peran serta dalam iqamatuddin sesuai dengan kapasitas kita. Menikah bukan berarti mutlak mendapat stempel mantan aktivis dakwah. Karena aktivitas iqamatuddin tetap bisa dilakukan setelah menikah, dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu dan dukungan suami tentunya. Sehingga, menikah bukanlah menjadi kuburan bagi potensi-potensi akhawat murabbiyah dan daiyah. Asalkan urusan rumah tangga beres, tak ada kata tidak untuk berkecimpung dalam aktivitas dakwah.
                Setelah menikah, para akhawat otomatis menjadi seorang istri dan ibu, yang notabene wilayah kerjanya lebih banyak di dalam rumah karena berkaitan dengan tugas rumah tangga dan pendidikan anak. Namun, apakah ini berarti bahwa tanggung jawab besar antara menikah dan dakwah, tidak bisa dijalankan secara beriringan? Tiap orang tentu akan menjawab berbeda, karena hal ini menyangkut kesiapan setiap pribadi dan dukungan masing-masing suami.
                Karena itulah, bagi muslimah yang memiliki ghirah tinggi untuk tetap berperan aktif dalam dakwah dan tarbiyah umat, sudah selayaknya mempersiapkan diri tentang bagaimana menyikapi dan memenej aktivitas dakwah pasca menikah. Dan hal ini tentunya perlu pembicaraan dan dukungan suami sebagai pemimpin rumah tangga.
                Tak dapat dipungkiri bahwa potensi besar pada akhwat tetap melekat meski ia bergelar ummahat. Potensi tersebut dibutuhkan dalam ranah iqamatuddin, khususnya pada wilayah dakwah dan tarbiyah muslimah secara umum. Pengalaman dan jam terbang dalam merumuskan strategi dakwah di kalangan muslimah, kemampuan manajerial, keterampilan membina dan kaderisasi, serta banyak hal lainnya yang sebenarnya tetap bisa dikembangkan setelah menikah.
                Pertanyaan selanjutnya, apakah semua potensi yang ada pada akhwat tersebut harus berakhir di gerbang pernikahan? Sedangkan ada amanah lain yang juga tak kalah besar tanggung jawabnya, yaitu suami dan anak-anaknya. 
                Dengan adanya situasi dan kondisi demikian, maka yang menjadi PR adalah bagaimana akhwat bisa memenej dengan baik dan mengupayakan sinergitas antara urusan rumah tangga dan aktivitas dakwah. Potensi yang melekat pada dirinya juga dibutuhkan oleh umat. Ada banyak kader akhwat, namun ternyata masih sulit untuk mencari murabbiyah yang mumpuni. Ada banyak permintaan majelis taklim, tapi sulit pula mencari pengisi taklimnya. Karena itu, potensi akhwat yang telah tersalurkan pada saat sebelum menikah, seharusnya tetap dipertahankan dan justru semakin berkembang meski ia telah menikah.

Saling Mendukung
                Pada dasarnya, banyak pasangan suami istri yang tetap bisa mempertahankan eksistensi mereka dalam aktivitas dakwah. Mereka membangun semangat bersama untuk tetap istiqamah dalam iqamatuddin tanpa mengabaikan tanggung jawab terhadap keluarga. Namun ada juga, bahkan tidak sedikit, ikhwan dan akhwat yang pada masa lajangnya aktif dalam kegiatan dakwah, tiba-tiba redup semangatnya setelah menikah dan bahkan hilang dari peredaran.
                Menikah justru seharusnya menjadi booster bagi aktivitas iqamatuddin. Bukan malah membuat terseoknya dan melempemnya potensi seorang aktivis dakwah. Demikian pula dengan suami-suami kita. Suami tidak hanya menjadi milik istri seorang, tetapi milik ummat juga. Jika gara-gara menikah dengan kita, lantas suami yang kita dampingi justru mulai menyurutkan langkah dakwahnya bahkan meninggalkan hampir sebagian besar aktivitas iqamatuddin-nya, maka ada hal-hal yang perlu dikoreksi. Jangan sampai karena sibuk dengan urusan rumah tangga, urusan aktivitas iqamatuddin suami menjadi terbengkalai dan membuatnya lalai.
                “Hai orang-orang yang beriman janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Siapa saja yang berbuat demikian, maka merekalah orang-orang yang rugi…” (QS Al-Munafiqun : 9).
                Jangan sampai pula karena suami disibukkan oleh ‘kejar setoran’ mencari uang dan kesibukan mengurusi kita keluarganya, keadaannya mirip dengan orang-orang Badui yang tidak turut ke Hudaibiyah dan berkata: “Kami telah disibukkan oleh harta dan keluarga kami…” (QS Al-Fath : 11).
                Inilah pentingnya saling mendukung antara suami dan istri. Survive-nya mobilitas para aktivis dakwah pasca menikah tentunya tidak lepas dari sikap saling mendukung tersebut. Tanpa adanya dukungan dari kedua belah pihak, sulit rasanya roda bisa bergerak apalagi melaju cepat.(ishlah@ymail.com)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Tawazun dalam Multi Peran



Seorang wanita muslimah memang bukan super woman. Namun, disadari atau tidak, seorang muslimah memiliki berbagai macam tugas dan amanah yang melekat pada dirinya. Ia diharapkan mampu merealisasikan multiperan yang ia sandang pada batas kemampuan yang ia miliki secara optimal.

Multi Peran dalam Kewajiban Muslimah
                Dalam peran multi dimensi seorang muslimah, setidaknya ada empat kewajiban muslimah yang harus dilaksanakan. Keempat kewajiban tersebut adalah:
1. Kewajiban terhadap Diennya (Wajibat Diniyyah)
                Yang dimaksud dengan wajibat diniyyah adalah kewajiban yang berkaitan dengan keimanan dan keislaman seorang muslimah. Termasuk juga di dalamnya berkaitan dengan akidah dan ibadah—baik lahir maupun batin—berdasarkan ilmu yang shahih (benar) dan ikhlas semata karena-Nya. Juga berkaitan tentang bagaimana ia mengisi hari-harinya dengan menjaga amal-amal fardiyah dan sunnah tathawwu’ sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam.
2. Kewajiban terhadap Pribadinya (Wajibat Syakhsiyyah)
                Wajibat syakhsiyyah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang muslimah terhadap dirinya sendiri, agar kualitas pribadinya semakin baik. Hal ini menyangkut persoalan jasmani maupun ruhani, akal pikiran dan jiwa, serta perilaku dan tingkah lakunya (akhlaqul karimah). Citra seorang muslimah akan terbias dari kepribadian diri yang tercelup oleh nilai-nilai islami. Akalnya terlindungi dengan ilmu, tubuhnya terjaga dan terpelihara. Ia akan menjaga hatinya, matanya, lisannya, telinganya, tangan dan kakinya dari segala sesuatu yang mengundang kemurkaan Allah dan membawa madharat bagi dirinya dan orang lain. Sehingga, ia senantiasa mengarahkan setiap bagian tubuhnya untuk membawa kebaikan bagi orang lain dan mencari pahala dari kesantunan akhlaknya.
3. Kewajiban terhadap Rumah Tangganya (Wajibat Baitiyyah)
                Yang dimaksud dengan wajibat baitiyyah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan terhadap rumah tangga. Seorang perempuan dalam kaitannya dengan keluarga, memiliki peran yang sangat utama. Sebagai seorang anak perempuan, ia harus ber-birrul walidain kepada orang tuanya. Sebagai istri dan ibu, ia harus pandai mengatur suasana rumah yang baik, nyaman, dan tentram. Harus pandai menyiapkan makanan sehari-hari yang bergizi dan bervariasi Sebagai pendamping suami, ia senantiasa berusaha melakukan pelayanan terbaik dan menaatinya selama bukan maksiat. Dalam kaitan dengan anak, ia juga memainkan pemeran utama dalam melahirkan dan mendidik generasi yang shalih/shalihah.
4.Kewajiban terhadap Masyarakatnya (Wajibat ljtima'iyyah)
                Wajibat ijtirna'iyyah adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh muslimah terhadap masyarakat ataupun amal jama’i. Sebagaimana kita ketahui, manusia adalah makhluk sosial yang di dalamnya termasuk juga perempuan, tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat dan urusan umat. Tidak tepat kalau ada seorang perempuan yang hanya mengurung diri dalam rumahnya, tidak peduli dengan kondisi umat, lalu tidak mau bermasyarakat dan berperan di dalamnya untuk berbuat kebajikan. Meskipun demikian, bukan berarti perempuan harus berperan secara bebas. Ada aturan syar’I yang harus tetap di-iltizami dalam partisipasinya di tengah umat.

Bersikap Tawazun dan Sesuai Skala Prioritas
                Idealnya, seorang muslimah mampu memadukan dan meng­aplikasikan berbagai kewajiban di atas sekali­gus secara baik, adil, proporsional dan bijaksana, sehinga dapat bersikap tawazun (seimbang) dalam melaksanakan multiperannya.
                Meski realitanya, terkadang pelaksanaan kewajiban secara menyeluruh memiliki banyak kendala internal, seperti rasa malas, enggan dan kurang semangat/motivasi dalam mengaplikasikannya. Tentu saja, hal tersebut akan ber­akibat kurang baik bagi diri muslimah yang bersang­kutan. Dalam hal ini, ia harus bijaksana dalam membuat skala prioritas di antara berbagai kewajibannya di atas. Namun, bukan mustahil jika Allah memberikan kemampuan dan kemudahan kepadanya untuk dapat melakukannya dengan baik secara keseluruhan.
                Setiap orang yang menginginkan keseim­bangan dalam hidupnya, ia harus bisa melihat secara utuh setiap persoalan dan menyelamat­kan akalnya dari cara pandang yang parsial.       Misalnya, pilihan untuk “berkarir” di rumah tangga sebagai istri dan ibu, tidak berarti melepaskan kewajibannya sebagai anggota masyarakat. Demikian sebaliknya, bahwa aktif berdakwah dan berperan aktif dalam amal jama’I atau aktivitas publik lainnya, mestinya tidak mengurangi perhatiannya terhadap tanggung jawab sebagai istri bagi suaminya dan ibu bagi anak-anaknya.
                Dengan demikian, ia akan dapat mengetahui urutan ibadah dan prioritas, serta mengklasifikasikan berbagai masalah dan tuntutan yang ada. Dengan membuat skala prioritas, akan dapat menghin­darkannya dari ketidakteraturan kegiatan. Tanpa skala prioritas, seseorang tidak akan bisa mendahulukan mana yang lebih penting dari yang kurang penting dan memilih yang terpenting diantara yang penting.
                Oleh karena itu, seorang muslimah pun diharapkan bisa berlaku propor­sional sesuai skala prioritas. Memiliki pola penyeimbangan, pengaturan dan pemerataan porsi masing-masing kewajiban tersebut. Sehingga, ia dapat melakukan multiperannya secara tawazun dan muqtadhal hal (melakukan hal yang paling utama).
                Jika menginginkan terwujudnya tawazun, maka secara total harus mengarahkan diri sesuai kemampuan yang ada pada diri kita. Maka dari itu, sifat tawazun sulit terwujud pada seseorang yang tidak memiliki jadwal secara teratur dan tidak mengukur kemampuan diri. Dan diantara penyebab ketidakseimbangan pelaksanaan kewajiban yang ada, adalah jika kita terjebak dalam aktivitas yang sia-sia dan tidak bermanfaat, termasuk juga ketidakmampuan kita dalam mengatur frekuensi pergaulan/pertemuan dengan sesama akhawat, serta menghabiskan waktu untuk ngobrol ngalor ngidul. Jika kita menghabiskan waktu tanpa ada tujuan dan kepentingan yang jelas, maka kita tidak akan mampu mewujudkan esensi dari tawazun itu. Di sinilah setan mampu mencuri waktu berharga kita. Secara tak sadar, kita kehilangan waktu berharga dengan membiarkan setan bermain dalam kegiatan kita.
                Selain itu, janganlah sekali pun kita menyandarkan pada diri kita, bahwa keberhasilan kita dalam melakukan semua itu karena kemampuan diri kita . Karena seluruh kemudahan dan kemampuan yang kita miliki adalah karunia Allah. Tidak ada kemudahan kecuali yang Ia mudahkan dan tak akan ada kesulitan jika Ia menjadikannya mudah. La quwwata illa billah. “Wahai Zat Yang Mahahidup, Wahai Zat yang Terus-menerus mengatur hamba-Nya, dengan rahmat-Mu aku memohon perlindungan, dan perbaikilah seluruh urusanku, serta janganlah Engkau (menjadikan) aku bersandar pada diriku, sekejap matapun” (Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah, no. 27) (ishlah@ymail.com)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Diberdayakan oleh Blogger.