Menikah bukanlah sebatas menyalurkan kebutuhan biologis akan lawan
jenis. Menikah juga bukan keceriaan sesaat karena tercapainya sebuah keinginan
yang lama terpendam. Pun menikah bukan hanya punya banyak anak atau memiliki
rumah lengkap dengan perabotnya. Bukan sebatas itu.
Dalam pernikahan
terkandung seperangkat visi dan misi yang melintasi masa dan usia. Menikah
adalah menggenapkan setengah din, menciptakan kolaborasi potensi antara suami
dan istri untuk tegaknya kalimat Allah di muka bumi.
Menikah Bukan Hambatan
Menikah dan iqamatuddin
adalah dua sinergi yang saling mendukung. Namun, seringkali problematika mulai
muncul ketika seorang akhwat memasuki gerbang pernikahan. Seolah dengan
menikahnya seorang akhwat, tugas dan amanah dakwahnya atas ummat mencapai titik
finish.
Sebagai muslimah
yang telah menikah, seharusnya kita tetap berusaha untuk mengambil peran serta
dalam iqamatuddin sesuai dengan kapasitas kita. Menikah bukan berarti
mutlak mendapat stempel mantan aktivis dakwah. Karena aktivitas iqamatuddin
tetap bisa dilakukan setelah menikah, dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu
dan dukungan suami tentunya. Sehingga, menikah bukanlah menjadi kuburan bagi
potensi-potensi akhawat murabbiyah dan daiyah. Asalkan urusan
rumah tangga beres, tak ada kata tidak untuk berkecimpung dalam aktivitas
dakwah.
Setelah menikah,
para akhawat otomatis menjadi seorang istri dan ibu, yang notabene wilayah
kerjanya lebih banyak di dalam rumah karena berkaitan dengan tugas rumah tangga
dan pendidikan anak. Namun, apakah ini berarti bahwa tanggung jawab besar
antara menikah dan dakwah, tidak bisa dijalankan secara beriringan? Tiap orang
tentu akan menjawab berbeda, karena hal ini menyangkut kesiapan setiap pribadi
dan dukungan masing-masing suami.
Karena itulah,
bagi muslimah yang memiliki ghirah tinggi untuk tetap berperan aktif
dalam dakwah dan tarbiyah umat, sudah selayaknya mempersiapkan diri tentang
bagaimana menyikapi dan memenej aktivitas dakwah pasca menikah. Dan hal ini
tentunya perlu pembicaraan dan dukungan suami sebagai pemimpin rumah tangga.
Tak dapat
dipungkiri bahwa potensi besar pada akhwat tetap melekat meski ia bergelar
ummahat. Potensi tersebut dibutuhkan dalam ranah iqamatuddin, khususnya
pada wilayah dakwah dan tarbiyah muslimah secara umum. Pengalaman dan jam
terbang dalam merumuskan strategi dakwah di kalangan muslimah, kemampuan
manajerial, keterampilan membina dan kaderisasi, serta banyak hal lainnya yang
sebenarnya tetap bisa dikembangkan setelah menikah.
Pertanyaan
selanjutnya, apakah semua potensi yang ada pada akhwat tersebut harus berakhir
di gerbang pernikahan? Sedangkan ada amanah lain yang juga tak kalah besar
tanggung jawabnya, yaitu suami dan anak-anaknya.
Dengan adanya
situasi dan kondisi demikian, maka yang menjadi PR adalah bagaimana akhwat bisa
memenej dengan baik dan mengupayakan sinergitas antara urusan rumah tangga dan
aktivitas dakwah. Potensi yang melekat pada dirinya juga dibutuhkan oleh umat.
Ada banyak kader akhwat, namun ternyata masih sulit untuk mencari murabbiyah
yang mumpuni. Ada banyak permintaan majelis taklim, tapi sulit pula mencari
pengisi taklimnya. Karena itu, potensi akhwat yang telah tersalurkan pada saat
sebelum menikah, seharusnya tetap dipertahankan dan justru semakin berkembang
meski ia telah menikah.
Saling Mendukung
Pada dasarnya, banyak
pasangan suami istri yang tetap bisa mempertahankan eksistensi mereka dalam
aktivitas dakwah. Mereka membangun semangat bersama untuk tetap istiqamah dalam
iqamatuddin tanpa mengabaikan tanggung jawab terhadap keluarga. Namun
ada juga, bahkan tidak sedikit, ikhwan dan akhwat yang pada masa lajangnya
aktif dalam kegiatan dakwah, tiba-tiba redup semangatnya setelah menikah dan
bahkan hilang dari peredaran.
Menikah justru
seharusnya menjadi booster bagi aktivitas iqamatuddin. Bukan
malah membuat terseoknya dan melempemnya potensi seorang aktivis dakwah.
Demikian pula dengan suami-suami kita. Suami tidak hanya menjadi milik istri
seorang, tetapi milik ummat juga. Jika gara-gara menikah dengan kita, lantas
suami yang kita dampingi justru mulai menyurutkan langkah dakwahnya bahkan
meninggalkan hampir sebagian besar aktivitas iqamatuddin-nya, maka ada
hal-hal yang perlu dikoreksi. Jangan sampai karena sibuk dengan urusan rumah
tangga, urusan aktivitas iqamatuddin suami menjadi terbengkalai dan
membuatnya lalai.
“Hai orang-orang
yang beriman janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari
mengingat Allah. Siapa saja yang berbuat demikian, maka merekalah orang-orang
yang rugi…” (QS Al-Munafiqun : 9).
Jangan sampai pula
karena suami disibukkan oleh ‘kejar setoran’ mencari uang dan kesibukan
mengurusi kita keluarganya, keadaannya mirip dengan orang-orang Badui yang
tidak turut ke Hudaibiyah dan berkata: “Kami telah disibukkan oleh harta dan
keluarga kami…” (QS Al-Fath : 11).
Inilah
pentingnya saling mendukung antara suami dan istri. Survive-nya
mobilitas para aktivis dakwah pasca menikah tentunya tidak lepas dari sikap
saling mendukung tersebut. Tanpa adanya dukungan dari kedua belah pihak, sulit
rasanya roda bisa bergerak apalagi melaju cepat.(ishlah@ymail.com)