Seorang wanita muslimah memang bukan super woman.
Namun, disadari atau tidak, seorang muslimah memiliki berbagai macam tugas dan
amanah yang melekat pada dirinya. Ia diharapkan mampu merealisasikan multiperan
yang ia sandang pada batas kemampuan yang ia miliki secara optimal.
Multi Peran dalam Kewajiban Muslimah
Dalam
peran multi dimensi seorang muslimah, setidaknya ada empat kewajiban muslimah
yang harus dilaksanakan. Keempat kewajiban tersebut adalah:
1. Kewajiban terhadap Diennya (Wajibat
Diniyyah)
Yang dimaksud dengan wajibat diniyyah adalah
kewajiban yang berkaitan dengan keimanan dan keislaman
seorang muslimah. Termasuk juga di dalamnya berkaitan dengan akidah dan ibadah—baik
lahir maupun batin—berdasarkan ilmu yang shahih (benar) dan ikhlas
semata karena-Nya. Juga berkaitan tentang bagaimana ia mengisi hari-harinya
dengan menjaga amal-amal fardiyah dan sunnah tathawwu’ sebagaimana yang
diajarkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam.
2. Kewajiban terhadap Pribadinya
(Wajibat Syakhsiyyah)
Wajibat syakhsiyyah merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang muslimah terhadap
dirinya
sendiri, agar
kualitas pribadinya semakin baik. Hal ini menyangkut persoalan jasmani maupun
ruhani, akal pikiran dan jiwa, serta perilaku dan tingkah lakunya (akhlaqul
karimah). Citra seorang muslimah akan terbias dari
kepribadian diri yang tercelup oleh nilai-nilai islami. Akalnya terlindungi
dengan ilmu, tubuhnya terjaga dan terpelihara. Ia akan menjaga
hatinya, matanya, lisannya, telinganya, tangan dan kakinya dari segala sesuatu
yang mengundang kemurkaan Allah dan membawa madharat bagi dirinya dan orang
lain. Sehingga, ia senantiasa mengarahkan setiap bagian tubuhnya untuk membawa
kebaikan bagi orang lain dan mencari pahala dari kesantunan akhlaknya.
3. Kewajiban terhadap Rumah Tangganya (Wajibat
Baitiyyah)
Yang dimaksud dengan wajibat baitiyyah adalah
kewajiban yang harus dilaksanakan terhadap rumah tangga. Seorang perempuan
dalam kaitannya dengan keluarga, memiliki peran yang sangat utama. Sebagai seorang anak perempuan, ia harus ber-birrul walidain
kepada orang tuanya. Sebagai istri dan ibu, ia harus pandai mengatur suasana rumah yang baik, nyaman, dan tentram. Harus
pandai menyiapkan makanan sehari-hari yang bergizi dan bervariasi Sebagai
pendamping suami, ia senantiasa berusaha melakukan pelayanan terbaik dan
menaatinya selama bukan maksiat. Dalam kaitan dengan anak, ia juga memainkan pemeran utama dalam melahirkan dan mendidik generasi yang shalih/shalihah.
4.Kewajiban terhadap
Masyarakatnya (Wajibat ljtima'iyyah)
Wajibat ijtirna'iyyah adalah
kewajiban yang harus dipenuhi oleh muslimah terhadap masyarakat ataupun amal jama’i.
Sebagaimana kita ketahui, manusia adalah makhluk sosial yang di dalamnya
termasuk juga perempuan, tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat dan urusan umat. Tidak
tepat kalau ada seorang perempuan yang hanya mengurung diri dalam rumahnya, tidak
peduli dengan kondisi umat, lalu tidak mau bermasyarakat dan berperan di
dalamnya untuk berbuat kebajikan. Meskipun demikian, bukan berarti perempuan
harus berperan secara bebas. Ada aturan syar’I yang
harus tetap di-iltizami dalam partisipasinya di tengah umat.
Bersikap Tawazun dan Sesuai Skala Prioritas
Idealnya, seorang muslimah mampu memadukan
dan mengaplikasikan berbagai kewajiban di atas sekaligus secara baik, adil,
proporsional dan bijaksana, sehinga dapat bersikap
tawazun (seimbang) dalam melaksanakan multiperannya.
Meski
realitanya, terkadang pelaksanaan kewajiban secara menyeluruh memiliki banyak kendala internal, seperti rasa malas, enggan dan kurang
semangat/motivasi dalam mengaplikasikannya. Tentu saja, hal tersebut akan berakibat kurang
baik bagi diri muslimah yang bersangkutan. Dalam hal ini, ia harus bijaksana dalam membuat skala prioritas di
antara berbagai kewajibannya di atas. Namun, bukan mustahil jika Allah
memberikan kemampuan dan kemudahan kepadanya untuk dapat
melakukannya dengan baik secara keseluruhan.
Setiap orang yang menginginkan keseimbangan dalam
hidupnya, ia harus bisa melihat secara
utuh setiap persoalan dan menyelamatkan
akalnya dari cara pandang yang parsial. Misalnya, pilihan untuk “berkarir” di
rumah tangga sebagai istri dan ibu, tidak berarti melepaskan kewajibannya
sebagai anggota masyarakat. Demikian sebaliknya, bahwa aktif berdakwah dan
berperan aktif dalam amal jama’I atau aktivitas publik lainnya, mestinya tidak mengurangi
perhatiannya terhadap tanggung jawab sebagai istri bagi suaminya dan ibu bagi
anak-anaknya.
Dengan demikian, ia akan dapat mengetahui urutan ibadah dan prioritas, serta
mengklasifikasikan berbagai masalah dan tuntutan yang ada. Dengan membuat skala prioritas, akan
dapat menghindarkannya dari ketidakteraturan kegiatan. Tanpa skala prioritas,
seseorang tidak akan bisa mendahulukan mana yang lebih penting dari yang kurang
penting dan memilih yang terpenting diantara yang penting.
Oleh
karena itu, seorang muslimah pun diharapkan bisa berlaku proporsional sesuai
skala prioritas. Memiliki pola penyeimbangan, pengaturan dan pemerataan porsi
masing-masing kewajiban tersebut. Sehingga, ia dapat melakukan multiperannya
secara tawazun dan muqtadhal hal (melakukan hal yang paling utama).
Jika
menginginkan terwujudnya tawazun, maka secara total harus mengarahkan
diri sesuai kemampuan yang ada pada diri kita. Maka dari itu, sifat tawazun sulit terwujud pada
seseorang yang tidak memiliki jadwal secara
teratur dan tidak mengukur kemampuan diri. Dan diantara penyebab
ketidakseimbangan pelaksanaan kewajiban yang ada, adalah jika kita terjebak
dalam aktivitas yang sia-sia dan tidak bermanfaat, termasuk juga ketidakmampuan
kita dalam mengatur frekuensi pergaulan/pertemuan dengan sesama akhawat, serta menghabiskan waktu untuk ngobrol ngalor
ngidul. Jika kita menghabiskan
waktu tanpa ada tujuan dan kepentingan yang jelas, maka kita tidak akan mampu
mewujudkan esensi dari tawazun itu. Di sinilah setan mampu mencuri waktu berharga
kita. Secara tak sadar, kita kehilangan waktu berharga dengan membiarkan setan
bermain dalam kegiatan kita.
Selain
itu, janganlah sekali pun kita menyandarkan pada diri kita, bahwa keberhasilan
kita dalam melakukan semua itu karena kemampuan diri kita . Karena seluruh
kemudahan dan kemampuan yang kita miliki adalah karunia Allah. Tidak ada
kemudahan kecuali yang Ia mudahkan dan tak akan ada kesulitan jika Ia
menjadikannya mudah. La quwwata illa billah. “Wahai Zat Yang Mahahidup,
Wahai Zat yang Terus-menerus mengatur hamba-Nya, dengan rahmat-Mu aku memohon
perlindungan, dan perbaikilah seluruh urusanku, serta janganlah Engkau
(menjadikan) aku bersandar pada diriku, sekejap matapun” (Silsilah Al-Hadits
Ash-Shahihah, no. 27) (ishlah@ymail.com)
0 komentar:
Posting Komentar