ShareThis

RSS

Tunaikan Amanah Tarbiyah, Raih Pahala-Nya !

Ummu Abdullah memandangi kedua balitanya yang sedang terlelap. Mengamati wajah polos mereka yang sedang tertidur pulas menjadi hiburan tersendiri baginya. Lumayan, cukup sebagai penawar rasa letih ketika seharian bergumul dengan rutinitas rumah yang melelahkan. Terbayang kesibukannya selama seharian penuh bersama mereka. Si sulung yang kini genap dua tahun dengan segala macam polah tingkah yang menggemaskan, baik yang menyenangkan maupun yang bikin keki. Begitupula si adik yang kini memasuki usia setengah tahunnya, yang semakin aktif merangkak kesana kemari menjamah apa-apa yang menarik hatinya. Dua bocah kecil yang hampir-hampir menyita 24 jam yang ia lewati setiap harinya.
          Pun demikian dengan Ummu Aisyah, merawat dan mendidik keempat anaknya yang berjarak rata-rata dua tahun itu ternyata cukup menghabiskan tenaga dan waktunya. Di sela-sela aktivitasnya mengurus rumah, memasak dan melayani suami, ia harus memberikan perhatian lebih kepada pendidikan anak-anaknya. Membimbing mereka shalat lima waktu, tilawah, tahfizh sekaligus muraja’ah hafalan, membiasakan mereka dengan kalimat thayyibah dan do’a-doa yaumiyah serta adab-adab Islami, juga mendampingi mereka dalam belajar dan mengerjakan PR ataupun tugas sekolah.
         Menjadi seorang ibu, tentunya berandil besar dalam pendidikan anak-anaknya. Ibu adalah sosok paling dominan dalam merawat dan mendidik anak. Karena itu, seorang ibu harus paham betul tentang urgensi amanah tarbiyah yang ada di pundaknya.

Bukan untuk dunia
            Banyak para orang tua yang menjadikan orientasi mendidik anak dengan harapan agar anaknya menjadi “orang”, hidup nyaman dan pekerjaan mapan. Ukuran duniawi dan materi sering kali menjadi tolak ukur keberhasilan dalam mendidik anak. Bangga jika anaknya masuk sekolah atau universitas favorit, nilainya bagus dan mendapat rangking di kelas, serta capaian-capaian lain yang pada dasarnya hanyalah sarana dan pelengkap. Bukan tujuan dari pendidikan itu sendiri.
            Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang sekuler. Dalam budaya Barat sekuler, tingginya pendidikan seseorang tidak berhubungan dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan. Dampak pendidikan ala Barat terhadap kaum Muslimin adalah tidak sedikit dari kalangan Muslim yang memiliki pendidikan tinggi, namun dalam kehidupan nyata, mereka belum menjadi Muslim-Muslim yang baik dan berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupannya.
            Memahami untuk apa kita mendidik anak-anak merupakan hal mendasar yang harus kita ketahui sebagai orang tua.  Mendidik anak adalah untuk mencari ridha Allah dan dalam rangka menjadikan anak-anak kita sebagai hamba-hamba Allah yang diridhai oleh-Nya. Dengan demikian, diharapkan akan lahir individu-indidivu yang baik, berakhlak, berkualitas, sehingga bermanfaat atas dirinya sendiri, juga keluarganya, masyarakatnya, dan ummat.
            Sebagai seorang ibu, tarbiyah atas anak-anak kita merupakan amanah besar yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Peran sebagai madrasatul ula, ada pada bagaimana kita. mendisiplinkan akal dan jiwa anak-anak kita. Bukan hanya memiliki akal yang cerdas, melainkan juga sifat-sifat dan jiwa yang baik, melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar, memiliki ilmu din dan pengetahuan yang luas, yang akan menjaganya dari kesalahan-kesalahan, serta membuatnya memiliki hikmah dan keadilan.

Ikhlaskan hati, Berharap Pahala
Di tengah kesibukan kita dalam mendidik anak, terdapat satu hal yang mungkin seringkali luput dari perhatian kita, padahal ia adalah hal yang sangat penting untuk dihadirkan dan dimaknai sepenuh hati. Meluruskan niat! Bayangkan, apa artinya kelelahan dan kepenatan kita dalam mengurus rumah dan anak-anak jika kita tidak mengikhlaskannya karena Allah. Sungguh sia-sialah jerih payah kita jika kita tak memaknaninya sebagai bagian dari ibadah kepada Allah. Jika kita meniatkannya karena Allah, maka setiap tetesan keringat kita, semua rasa lelah dan letih kita akan bernilai di sisi Allah. Apalagi jika kita juga meniatkan setiap detik dan menit yang kita lalui dalam mendidik anak-anak kita adalah untuk menjadikan mereka hamba-hamba Allah yang shalih, maka entah berapa banyak pahala yang bisa kita dapatkan.
            Jika buah hati yang kita celup dengan shibghah Islam di tiap masa-masa pertumbuhan dan perkembangannya,  sukses menjadi sosok shalih shalihah dan kemudian mereka mendoakan kita, maka pahala itu akan terus mengalir seiring dengan doa-doa mereka. Karena Rasulullah SAW telah bersabda: "Apabila anak Adam meninggal, maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shalih yang mendoakan." (HR Muslim)
            Subhanallah ! Kita tak bisa membayangkan betapa ‘deras’ pahala yang akan mengalir dari do’a yang terucap dari lisan anak-anak kita, jika ia sukses menjadi anak shalih. Bukankah mendidik anak-anak—secapek dan sepenat apapun—akan menjadi investasi besar bagi kita, untuk kita harapkan keuntungannya di akhirat kelak? (ishlah@ymail.com)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Selamat, Anti Telah Terpilih!

Ketika ta’aruf, nama kita mungkin menjadi salah satu kandidat dalam daftar calon istri yang telah dibuat suami kita. Dan akhirnya, setelah melalui banyak fase dari mulai berfikir, mempertimbangkan, mengistikharai, hingga kemudian mantap memutuskan. Kitalah kandidat terpilih. Mengalahkan rival-rival akhawat lain yang mungkin telah masuk dalam proses seleksi calon istri yang telah digelar. Sungguh sebuah keputusan yang besar!
Memilih sesosok wanita dengan sebuah standar kriteria yang telah termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bukanlah hal yang mudah. Wanita yang shalihah, yang taat pada suami, yang menjaga diri dan harta suaminya, memelihara kehormatan dan harga dirinya, berakhlak mulia dan murabbiyah yang baik bagi anak-anaknya, beserta sederet kriteria lainnya. “Pilihlahlah tempat-tempat yang baik untuk menyemaikan nuthfah kalian” (HR. Daruquthni), demikian kata Rasulullah SAW.
Finally, pilihan jatuh atas diri kita. Suami memilih kita bukannya tanpa alasan. Pastinya, kita telah memenuhi standar idealnya sebagai seorang istri, yang akan mendampingi perjalanan hidupnya, mengarungi lautan ujian dan bahtera rumah tangga. Memilih kita sebagai tempat melabuhkan dirinya, mencurahkan perasaan dan hasratnya, menaburkan benih dan menyemainya. Karena itu, selamat … kita telah terpilih!

Kita pun telah menentukan ..
                Sebagai pihak wanita, kita memiliki otoritas. Untuk menentukan persetujuan atas sang calon suami yang telah datang. Menerima atau menolak. Semua opsi ini ada di tangan kita. Ketika kita memutuskan untuk mengatakan YA, juga bukan suatu hal yang mudah. Karena maknanya, kita siap untuk menyerahkan diri kita seutuhnya. Siap dengan segala kewajiban dan tanggungjawab yang nantinya harus kita tunaikan. Plus, siap untuk menerima ke-qawwam-an suami dan memenuhi haknya beserta segala wewenangnya.  Keputusan kita untuk menerima pinangannya, berbuah amanah yang wajib kita penuhi. Amanah sebagai seorang istri, yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Ta’ala.
                Menjadi istri shalihah yang ideal bagi suami pasti menjadi harapan tiap wanita. Apalagi menjadi istri yang taat dan shalihah itu sendiri merupakan tuntutan sekaligus tuntunan agama. Pada tataran konsep, memang mudah dipelajari dan dijabarkan tentang A to Z-nya profil istri shalihah dan penuh pesona. Namun, pada wilayah aplikasi jelas tak semudah yang dibayangkan.
                Pada beberapa situasi dan kondisi, kita akan dihadapkan pada hal-hal yang menguji kesabaran dan ketahanan diri untuk benar-benar menjadi sosok istri shalihah di hadapan Allah dan bagi suami. Sekali lagi, menjadi istri yang shalihah—pada praktiknya—tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Mungkin itulah sebabnya balasan dan pahala bagi istri shalihah luar biasa besarnya.
                Suami, sebagai sosok yang menjadi ‘medan tempur’ bagi istri, merupakan faktor penentu dalam kualifikasi nilai yang akan didapat seorang istri. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Pernah datang kepada Rasulullah SAW seorang wanita untuk suatu keperluan, setelah keperluannya terpenuhi, Rasulullah bertanya, ”Apakah engkau mempunyai suami?” Diapun menjawab, “Ya!” Beliau bertanya lagi, “Bagaimana engkau memperlakukan dirinya?” Wanita inipun menjawab, “Aku selalu memenuhi semua haknya kecuali hal-hal yang aku tidak mampu melakukannya.” Selanjutnya Rasulullah bersabda, “Ingatlah, bagaimana kamu memperlakukannya, maka hal itulah yang akan menentukan dirimu ke surga atau neraka.” (HR. Ahmad). 
                Karena itulah, istri seharusnya berupaya maksimal dan berusaha optimal dalam melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya sebagai istri, serta memenuhi hak suami dengan segenap kemampuannya. Hal ini disebabkan begitu besarnya hak suami atas diri istri. “Tidaklah diperbolehkan seseorang bersujud kepada orang lain. Seandainya bersujud kepada orang lain diperbolehkan, niscaya aku akan perintahkan wanita untuk bersujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami atas dirinya” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i). Sungguh sebuah amanah yang berat tentunya.
Karena itulah, ketika kita menyandang status sebagai istri, amanah itu masih melekat erat dalam ‘pundak’ kita. Amanah yang masih harus kita tunaikan. Saat ini, dan selamanya! Selama Allah menghendaki kita mendampingi suami kita.
                Amanah yang kita emban memang bermacam-macam. Dan salah satu amanah yang paling besar dalam kehidupan kita, adalah amanah sebagai seorang ISTRI. Suami telah memilih kita. Dan kita telah mengiyakannya. Maka, kita harus memenuhi kewajiban kita terhadap suami dan menunaikan hak-haknya atas diri kita. Sekilas memang terdengar mudah. Namun jika mengaplikasikannya dalam kehidupan, ternyata butuh perjuangan. Sehingga, sudahkah amanah ini terlaksana dengan sebaik-baiknya?

Butuh Bantuan Suami
                Sayangnya, banyak suami yang tak mau tahu tentang beratnya tanggung jawab istri dalam memikul amanah tersebut. Banyak pula suami-suami yang tak ambil pusing tentang bagaimana sebenarnya perasaan dan curahan hati sang istri terhadapnya. Padahal, suamilah sosok yang menjadi obyek utama dalam amanah seorang istri. Tentu saja amanah tersebut akan terasa lebih ringan dan mudah bagi istri, jika suami bisa secara kooperatif membantu istri merealisasikan amanah itu. Apalagi, jika suami mau berempati terhadap tugas dan tanggung jawab istri. Cukuplah Rasulullah SAW menjadi teladan bagi para suami.
                Oleh karena itu, suami setidaknya mencoba untuk mengerti dan memahami hal-hal yang menjadi curahan hati dan perasaan istri terhadap dirinya. Jika laki-laki dominan logikanya, maka wanita dominan perasaannya. Dengan demikian, suami hendaknya mengerti bagaimana perasaan istri atas sikap dan kata-katanya. Sikap yang kasar dan kata-kata yang tidak mengenakkan, akan dapat menusuk hati dan perasaan istri. Jika suami menuntut istri supaya berkata lembut dan mesra pada istri, maka istri secara tabiat juga berharap suami dapat menggunakan ‘bahasa perasaan’ ketika menghadapi istri. Bagaikan tulang rusuk yang bengkok, istri akan ‘patah’ jika suami keras dan kasar padanya. (ishlah@ymail.com)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Nikmatnya di Rumah



“Dan hendaklah kalian tetap di rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa kalian, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab: 33)
                Allah memerintahkan kepada ummahatul mukminin dan juga seluruh muslimah secara umum, untuk menetap di rumah-rumah mereka. Perintah tersebut memiliki manfaat yang besar bagi kaum wanita dalam berbagai aspeknya.

Lebih Dekat dengan Allah
                Amalan berupa menetapnya seorang muslimah di rumah, menahan diri untuk tidak keluyuran dan pergi sesuka hati tanpa keperluan syar’i, merupakan salah satu wujud ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan tersebut akan mendatangkan keridhaan Allah dan pahala bagi dirinya. 
                Selain itu, menetapnya wanita di dalam rumah memberikan peluang bagi dirinya untuk melakukan aktivitas taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah). dengan di rumah ia akan lebih memiliki waktu dan kesempatan untuk melakukan ibadah-ibadah nafilah, juga waktu luang untuk mengaji dan mengkaji Al-Qur’an, serta amalan lain yang kemungkinan tidak bisa dan tidak sempat dia lakukan jika ia sibuk beraktivitas di luar.
                Persis seperti yang disampaikan oleh Rasulullah saw, “Dan saat-saat yang paling dekat dengan Rabb-Nya adalah saat ia berada di bagian rumahnya yang paling dalam.” (Silsilah Ash-Shahihah, 2688).
                Karena itulah, penting untuk mengetahui keutamaan menetapnya wanita di rumah. Bahkan shalat di masjid yang diganjar dengan pahala 27 derajat untuk laki-laki, menjadi tidak lebih utama, ketika seorang wanita shalat di rumahnya.
                Ummu Hamid, istri Abu Hamid As-Sa’idi, pernah mendatangi Nabi dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya senang shalat bersama engkau.” Rasulullah bersabda, “Aku tahu kau senang shalat bersamaku. Tapi shalatmu di dalam rumahmu itu lebih baik daripada shalat di halaman dalam rumahmu. Shalatmu di halaman dalam itu lebih baik daripada shalat di dalam kompleks rumahmu. Shalatmu di kompleks rumahmu lebih baik daripada shalat di masjid kaummu. Shalatmu di masjid kaum itu lebih baik daripada shalat di masjidku.”
                Ummu Hamid pun memerintahkan agar dibuatkan tempat shalat di bilik yang paling dalam di rumahnya dan shalat di tempat itu hingga ia wafat. (HR. Ahmad)

Terhindar dari fitnah     
                Perintah untuk menetap di dalam rumah dalam ayat yang tersebut di atas,  diiringi dengan larangan untuk berhias dan bertingkah laku seperti wanita jahiliyah. Seorang wanita yang enggan menetap di rumah lantaran hobi hang out dan keluar rumah tanpa alasan syar’i, seakan menjadi alasan untuk berhias agar tampil cantik dan menarik ketika akan keluar rumah.
                Bepergiannya seorang wanita dari rumahnya, akan memicu berbagai fitnah dan kerusakan. Karena Rasulullah telah mengingatkan, “Wanita itu aurat. Bila ia keluar dari rumah, setan akan menghiasinya.” (HR. Tirmidzi). Dengan menetap di dalam rumah, berati ia berada dalam sebuah benteng yang kokoh dan penjagaan yang kuat. Jika ia keluar dari rumahnya, maka hilanglah rasa aman yang dimilikinya seperti halnya ketika ia berada di dalam rumah.
                Setan tak perlu bersusah payah mencari umpan, karena wanita yang keluar tersebut telah menjadi umpan sekaligus perangkap ampuh untuk menjebak manusia ke dalam fitnah dan kerusakan. Oleh karena itu, Abdullah bin Mas’ud ra berpesan, “Tahanlah wanita di rumah, karena sesungguhnya wanita itu adalah aurat. apabila ia keluar rumah, setan menatapnya dengan tajam dan berbisik kepadanya, ‘Tidaklah engkau melewati seorang pun melainkan ia pasti kagum terhadapmu’.”
                Setan menghiasi wanita hingga dirinya merasa cantik dan menganggap dirinya seolah tampak menarik di mata lelaki yang melihatnya. Sebaliknya, setan juga memperdayai laki-laki yang dilewatinya agar tergoda oleh si wanita.
               
Fokus dengan Tanggung Jawab Domestik
Seorang wanita identik dengan tanggung jawab domestik yang berkaitan dengan peran dan tugasnya sebagai istri dan ibu. Ia bertugas melayani suami dan selalu berusaha mencari keridhaan suami selama tidak bermaksiat kepada Allah. Dengan mengharap ridha-Nya, ia akan senantiasa memberikan yang terbaik untuk rumah tangga dan keluarganya, mengurus dan mengaturnya. Merawat anak-anaknya dan mentarbiyah mereka dengan sebaik-baiknya.
                Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rhm mengatakan bahwa perbaikan masyarakat bisa dilakukan dengan dua cara: Pertama, perbaikan secara lahiriah, yaitu perbaikan yang berlangsung di pasar, masjid, dan berbagai urusan lahiriah lainnya. Hal ini banyak didominasi kaum lelaki, karena merekalah yang sering nampak dan keluar rumah. Kedua, perbaikan masyarakat di balik layar, yaitu perbaikan yang dilakukan di dalam rumah. Sebagian besar peran ini diserahkan pada kaum wanita sebab wanita merupakan penanggung jawab di rumah.
                Keberadaan wanita di rumah akan membuatnya fokus dengan tanggung jawab domestiknya. Fokus dalam melayani suami, karena ia akan lebih memahami apa yang bisa menyenangkan dan membuat nyaman suaminya ketika sang suami ‘berlabuh’ di rumah. Menyambutnya ketika ia datang dan berhias untuknya. Merawat diri dan kecantikannya. Juga, always available ketika sang suami membutuhkannya.
                Begitu pula dengan anak-anak, ia akan lebih bisa mengonsentrasikan perhatiannya dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya, karena ia hadir 24 jam bersama mereka. Sehingga, ia tahu benar bagaimana tumbuh kembang anak-anaknya secara langsung. Dengan demikian, ia akan lebih cermat dan tanggap dalam melaksanakan tanggung jawab kerumahtanggaan. (ishlah@ymail.com)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Muslimah Cerdas


Ilmu adalah makanan pokok bagi akal. Seorang muslimah selayaknya senantiasa memberikan suplai ilmu untuk akalnya. Pada zaman Rasulullah SAW, para shahabiyat sangat memaknai nilai ilmu. Para wanita saat itu berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, berikanlah kesempatanmu barang satu hari supaya kami dapat belajar darimu, agar kami tidak kalah dengan kaum laki-laki”. Maka beliau berkata, “Baiklah, tempat belajar kalian di rumah si Fulan”. Lalu beliau pun datang ke rumah tersebut, lalu memberikan nasihat, mengingatkan dan mengajari mereka. (HR Bukhari).
Oleh karena itulah, muslimah harus cerdas. Statemen tersebut pastinya bukan sekadar slogan atau utopia. Kedudukan muslimah sebagai individu yang sejajar dengan laki-laki dalam hal memperoleh ilmu, sebagaimana terangkum dalam hadits “ Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah, Al Baihaqi dan Ibnu ‘Adi), seharusnya membuat setiap muslimah tersadar akan eksistensi dirinya. 
            Muslimah sebagai unsur penting dalam membangun peradaban Rabbani harus memiliki basis intelektual yang kuat. la memiliki peran yang sangat besar dalam mewarnai serta membentuk pola fikir dan pemahaman keluarganya, lingkungan di sekelilingnya dan masyarakat secara umum..
Muslimah sebagai salah satu pilar pengusung kebangkitan Islam, membutuhkan kekuatan akal yang kuat untuk berfikir secara kritis dan memiliki daya intelektualitas yang dapat ia manfaatkan sebagai bekal untuk memahami dien dan lingkungannya. Terlebih pada masa seperti saat ini, di mana berbagai syubuhat pemikiran dan kondisi realita zaman yang rusak serta dipenuhi oleh gelimang dosa dan kemaksiatan. Ia harus menggunakan akalnya secara jernih, untuk kemudian menganalisa, mengevaluasi serta memilih langkah terbaik yang harus ia lakukan dalam menghadapi tantangan zaman. Akal yang terbina dan terbentengi oleh nilai-nilai dien dan landasan ilmu yang kuat akan tegar menghadapi godaan dan gempuran sedahsyat apapun, dengan ijin Allah.
Eksistensi yang ia miliki bersama laki-laki dalam perjuangan menegakkan Islam membutuhkan kepekaan intelektual yang tajam. Partisipasi muslimah dalam kemajuan dan kebangkitan Islam harus dilakukan secara sadar, terencana dan diatas kepahaman. Bukan berdasarkan emosi, kebodohan dan hanya ikut-ikutan. Sebagai pendamping laki-laki (syaqaiqurrijal), ia juga harus memiliki kemampuan berfikir yang cerdas dan pemahaman (tashawwur) yang baik. Sehingga ia dapat menjadi seorang pendamping yang mendukung, memotivasi, dan memberikan 'suntikan-suntikan' yang diperlukan.
Sebagaimana yang dilakukan oleh salah seorang ummahatul mu'minin, Ummu Salamah, yang memberikan 'saran jitu' ketika Rasulullah mendatangi beliau dan menjelaskan bahwa ia telah memerintahkan umatnya untuk bertahallul dan ihram, namun mereka tidak memahaminya. Dengan cerdasnya ia menyarankan, “Ya Rasulullah, keluarlah engkau, dan jangan berbicara sepatah kata pun kepadada umatmu, hingga engkau menyembelih kurbanmu dan memanggil tukang pangkas untuk mencukur rambutmu". Atas anjuran ini, umat Rasulullah SAW kemudian menjadi sadar atas kelalaian mereka dan mengikuti apa yang dilakukan beliau. Dengan demikian, seorang istri tidak sekadar menjadi konco wingking yang terbelakang dan menjadi sosok inferiority complex yang digambarkan sebagai someone who has a long hair and short understanding.
Pun, dalam mendidik generasi juga membutuhkan pengetahuan. Karena anak tidak cukup hanya diberi makanan dan perhatian pada aspek jasadiyahnya saja. Ia membutuhkan suplai ruhani dan fikriyah, yang untuk memenuhi kebutuhan tersebut ia dituntut untuk memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas. Pola fikir yang ia tanamkan akan sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian anak. Rasulullah SAW bersabda : "Setiap anak yang lahir dilahirkan dalam keadaan fitrah Islam. Terserah kepada kepada kedua orangtuanya anak itu akan dijadikan Yahudi, Nasrani ataupun Majusi" (HR.Bukhari).
Oleh karena itu, dalam upaya mencerdaskan muslimah hendaknya terdapat relevansi antara kebutuhan dan kemampuan. Harus diperhatikan tentang apa-apa yang dibutuhkan oleh akal wanita tersebut sehingga input materi (baca : ilmu) yang masuk ke dalamnya dapat bemanfaat secara maksimal dan digunakan pula secara optimal. Meskipun dalam mempelajari ilmu terbuka peluang selebar-Iebarnya dan seluas-Iuasnya sebagai realisasi dari wajibnya tholabul 'ilmy bagi tiap muslim. Akan tetapi, memprioritaskan ilmu yang lebih penting dari beragam ilmu yang ada akan jauh lebih baik. Sebagai misal, sebut saja Ukhti Fulanah seorang aktivis dakwah dengan jam terbang tinggi dan memiliki tsaqofah dan fikriyah yang hebat. Ukhti satu ini memang menguasai ilmu-ilmu tentang siyasah syar'iyyah, harakah islamiyah, amal jama'i, fiqhul jihad, dan yang lainnya. Ia juga pintar dalam penguasaan informasi dan teknologi terkini.
Tapi sayang, setelah ia menikah ia merasa menyesal karena tidak memprioritaskan ilmu-ilmu yang sesuai dengan fitroh kewanitaannya dan relevan dengan tugas-tugas dan kewajibannya sebagai istri dan ibu. Ia sama sekali tak tahu bagaimana ilmu tentang mengatur rumah tangga, ia juga tak menguasai ilmu tentang pernak-pernik pernikahan, ilmu tentang melahirkan dan merawat bayi, dan ilmu-ilmu lainnya yang berkaitan dengan tugas yang ia emban. Pada dasarnya, tidak ada ilmu yang tidak bermanfaat, selama ilmu tersebut adalah ilmu yang benar. Yang perlu dicermati bagi seorang wanita adalah bagaimana ia memenuhi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan tugas dan kewajibannya sebagai istri dan ibu, setelah pemenuhan atas ilmu yang berkaitan dengan kewajiban fardiyahnya sebagai hamba Allah.
           Sekali lagi bukan berarti ilmu yang selain itu tidak perlu, namun lebih kepada penekanan dan porsi yang diberikan antara ilmu tersebut dengan yang lainnya. Jauh lebih baik apabila ia dapat menguasainya secara keseluruhan jika memang ia mampu.            
           Untuk itulah Islam memberikan perhatian yang besar terhadap pemfungsian akal wanita. Islam mengatur tentang bagaimana seorang muslimah dapat memiliki kemampuan akal yang baik. Karena dari kemampuan inilah ia akan melahirkan pribadi-pribadi yang berkualitas, selain dengan kekuatan iman dan taqwa tentunya. (ishlah@ymail.com)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Diberdayakan oleh Blogger.