Ummu Abdullah memandangi kedua balitanya yang sedang terlelap. Mengamati wajah
polos mereka yang sedang tertidur pulas menjadi hiburan tersendiri baginya. Lumayan, cukup
sebagai penawar rasa letih ketika seharian bergumul dengan rutinitas rumah yang
melelahkan. Terbayang kesibukannya selama seharian penuh bersama mereka. Si sulung yang kini genap dua
tahun dengan segala macam polah tingkah yang menggemaskan, baik yang
menyenangkan maupun yang bikin keki. Begitupula si adik yang kini memasuki usia
setengah tahunnya, yang semakin aktif merangkak kesana kemari menjamah apa-apa
yang menarik hatinya. Dua bocah kecil
yang hampir-hampir menyita 24 jam yang ia lewati setiap harinya.
Pun demikian dengan Ummu Aisyah, merawat dan mendidik keempat anaknya yang
berjarak rata-rata dua tahun itu ternyata cukup menghabiskan tenaga dan
waktunya. Di sela-sela aktivitasnya mengurus rumah, memasak dan melayani suami,
ia harus memberikan perhatian lebih kepada pendidikan anak-anaknya. Membimbing
mereka shalat lima waktu, tilawah, tahfizh sekaligus muraja’ah hafalan,
membiasakan mereka dengan kalimat thayyibah dan do’a-doa yaumiyah serta
adab-adab Islami, juga mendampingi mereka dalam belajar dan mengerjakan PR
ataupun tugas sekolah.
Menjadi seorang ibu, tentunya berandil besar dalam pendidikan anak-anaknya.
Ibu adalah sosok paling dominan dalam merawat dan mendidik anak. Karena itu,
seorang ibu harus paham betul tentang urgensi amanah tarbiyah yang ada di
pundaknya.
Bukan untuk dunia
Banyak para orang tua yang
menjadikan orientasi mendidik anak dengan harapan agar anaknya menjadi “orang”,
hidup nyaman dan pekerjaan mapan. Ukuran duniawi dan materi sering kali menjadi
tolak ukur keberhasilan dalam mendidik anak. Bangga jika anaknya masuk sekolah
atau universitas favorit, nilainya bagus dan mendapat rangking di kelas, serta
capaian-capaian lain yang pada dasarnya hanyalah sarana dan pelengkap. Bukan
tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Pendidikan yang bertujuan
pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan
Barat yang sekuler. Dalam budaya Barat sekuler, tingginya pendidikan seseorang
tidak berhubungan dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan.
Dampak pendidikan ala Barat terhadap kaum Muslimin adalah tidak sedikit dari kalangan
Muslim yang memiliki pendidikan tinggi, namun dalam kehidupan nyata, mereka
belum menjadi Muslim-Muslim yang baik dan berbahagia. Masih ada kesenjangan
antara tingginya gelar pendidikan yang diraih dengan rendahnya moral serta
akhlak kehidupannya.
Memahami untuk apa kita
mendidik anak-anak merupakan hal mendasar yang harus kita ketahui sebagai orang
tua. Mendidik anak adalah untuk mencari
ridha Allah dan dalam rangka menjadikan anak-anak kita sebagai hamba-hamba
Allah yang diridhai oleh-Nya. Dengan demikian, diharapkan akan lahir
individu-indidivu yang baik, berakhlak, berkualitas, sehingga bermanfaat atas
dirinya sendiri, juga keluarganya, masyarakatnya, dan ummat.
Sebagai seorang ibu,
tarbiyah atas anak-anak kita merupakan amanah besar yang nantinya akan dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah. Peran sebagai madrasatul ula, ada pada bagaimana kita. mendisiplinkan akal dan
jiwa anak-anak kita. Bukan hanya memiliki akal yang cerdas, melainkan juga sifat-sifat
dan jiwa yang baik, melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar,
memiliki ilmu din dan pengetahuan yang luas, yang akan menjaganya dari
kesalahan-kesalahan, serta membuatnya memiliki hikmah dan keadilan.
Ikhlaskan hati, Berharap Pahala
Di tengah
kesibukan kita dalam mendidik anak, terdapat satu hal
yang mungkin seringkali luput dari perhatian kita, padahal ia adalah hal yang
sangat penting untuk dihadirkan dan dimaknai sepenuh hati. Meluruskan niat! Bayangkan,
apa artinya kelelahan dan kepenatan kita dalam mengurus rumah dan anak-anak
jika kita tidak mengikhlaskannya karena Allah. Sungguh sia-sialah jerih payah
kita jika kita tak memaknaninya sebagai bagian dari ibadah kepada Allah. Jika
kita meniatkannya karena Allah, maka setiap tetesan keringat kita, semua rasa
lelah dan letih kita akan bernilai di sisi Allah. Apalagi jika kita juga
meniatkan setiap detik dan menit yang kita lalui dalam mendidik anak-anak kita
adalah untuk menjadikan mereka hamba-hamba Allah yang shalih, maka entah berapa
banyak pahala yang bisa kita dapatkan.
Jika
buah hati yang kita celup dengan shibghah
Islam di tiap masa-masa pertumbuhan dan perkembangannya, sukses menjadi sosok shalih shalihah dan
kemudian mereka mendoakan kita, maka pahala itu akan terus mengalir seiring
dengan doa-doa mereka. Karena Rasulullah SAW telah bersabda: "Apabila
anak Adam meninggal, maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga perkara:
shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shalih yang mendoakan." (HR Muslim)
Subhanallah ! Kita tak bisa membayangkan betapa ‘deras’
pahala yang akan mengalir dari do’a yang terucap dari lisan anak-anak kita,
jika ia sukses menjadi anak shalih. Bukankah mendidik anak-anak—secapek dan
sepenat apapun—akan menjadi investasi besar bagi kita, untuk kita harapkan
keuntungannya di akhirat kelak? (ishlah@ymail.com)