Cinta adalah
sesuatu yang abstrak. Tidak kasat mata, tetapi bisa dirasakan. Cintalah yang
dapat menimbulkan getaran-getaran hati. Menyebabkan letupan-letupan emosi,
entah bahagia, marah atau sedih.
Cinta juga begitu dominan menguasai perasaan
dan hati. Merasa tenang, nyaman dan damai, bila bisa selalu berdekatan dengan
yang dicinta. Cinta menghasilkan kerinduan mendalam. Ingin memandang, ingin
berjumpa, ingin berdekatan.
Cinta pula
yang menjadi kekuatan untuk berkorban, memberi segala yang dimiliki dan rela
melakukan apapun. Atas nama cinta, rasa sakit dan beban penderitaan terasa
ringan menjalaninya. Demi cinta, nyawa pun bisa sebagai tebusan.
Dia-kah
yang
Kau Cinta?
Abstraksi
tersebut diatas memberikan gambaran tentang efek dahsyat cinta. Selanjutnya, marilah
kita menilik hati kita masing-masing. Benarkah kita sudah merasakan efek-efek
itu pada diri kita atas kecintaan kita kepada-Nya?
Sudahkah cinta
kepada Allah menimbulkan getaran-getaran yang lain pada hati kita? Menguasai
perasaan kita? Mendominasi wilayah kecintaan kita?
Apakah
kita juga merasa tenang, nyaman, damai dengan merasakan kedekatan-Nya dan
ketika menyendiri bersama-Nya? Atau merasa demikian jika mendengar
ayat-ayat-Nya? Apakah kita
rindu dan ingin sekali bertemu? Berhasrat
sekali untuk memandang dan menikmati Wajah-Nya?
Apakah kita telah merasa
enteng mengorbankan apapun yang kita miliki untuk-Nya? Tanpa berat hati dan
tanpa penangguhan? Apapun itu?
Jawab saja
dengan jujur, karena hanya diri kita masing-masing dan Allah yang tahu validitas
jawaban pertanyaan-pertanyaan itu. Kedalaman cinta kita kepada Allah menjadi
rahasia antara kita dengan-Nya.
Jangan Duakan !
Tanpa kita
sadari, mungkin saja, kita lebih mencintai anak-anak kita atau suami kita
melebihi kadar cinta kita kepada Allah. Sampai-sampai, saking cintanya kepada
suami, seorang istri bisa kehilangan akal sehat ketika suaminya menikah lagi
secara syar’i. Atau, seorang ibu yang tidak rela melepas anaknya, ketika sang
anak harus berangkat ke ma’rokah untuk berjuang fi sabilillah.
Padahal, secara gamblang Allah
berfirman, “Katakanlah: "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara,
istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan
yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah
lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS.
9:24)
Allah
mengingatkan kita untuk menempatkan kecintaan kepada-Nya, Rasul-Nya dan jihad
fi sabilillah diatas cinta terhadap selainnya. Oleh karena itu,
selayaknya kita
menempatkan cinta pada tempatnya. Mencintai Allah,
dan mencintai
selain-Nya karena Dia. Inilah cinta yang murni 100%.
Cinta yang terbebas dari ‘perbudakan cinta’ kepada makhluk menuju cinta yang
merdeka. Cinta kepada Pencipta dan Penguasa Makhluk.
Jangan sampai kita duakan cinta kita
kepada-Nya. Segenap cinta harus bermuara pada alasan karena cinta kepada-Nya.
Pastinya, jika kita memiliki kekuatan iman, secara paralel kekuatan cinta kita
kepada Allah sekuat iman kita.
“Dan
diantara manusia ada orang-orang yang memiliki tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya
orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada
hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat
berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS.
2:165)
Bukti Cinta
Seseorang
yang benar-benar mencintai, akan memberikan yang terbaik kepada yang dicinta.
Begitupun seharusnya kita. Jika kita mengaku mencintai Allah, kita harus
berupaya maksimal dan optimal untuk membuktikan cinta itu. Buktikan bahwa
pengakuan cinta kita bukanlah omong kosong dan lip service.
Bentuk
bukti cinta tersebut adalah beribadah kepada-Nya dengan ikhlas dalam segala
keadaan. Baik dalam keadaan bersemangat ataupun ketika malas menyerang. Baik
ketika sendiri, ataupun bersama orang lain. Hakikat ubudiyah ialah cinta yang
sempurna, merendahkan diri kepada Sang Kekasih dan tunduk kepada-Nya (Ibnu
Qoyyim, Madarijus Salikin). Cinta
yang mendalam akan terbias pada jasad si empunya cinta. Jika cintanya kepada
Allah jujur, maka setiap anggota jasadnya akan melakukan ketaatan dengan penuh
cinta.
Barangsiapa
pernah jatuh cinta, dialah yang merasakannya. Maka, jangan biarkan diri Anda
mencintai sesuatu yang tidak layak untuk dicintai. Karena cinta selayaknya
adalah milik Allah. Seutuhnya. Maka, pilihlah siapa yang memang layak untuk
Anda cintai. Cinta yang mendatangkan cinta-Nya. Cinta yang akan membawa
kebahagiaan hakiki di negeri abadi. Bukan bahagia semu dan fatamorgana. Bukan
cinta yang mengundang kemurkaan-Nya. Bukan pula cinta yang menyaingi cinta terhadap-Nya. Cintai
Allah sepenuh hati, dan cintai selainnya karena-Nya! (ishlah@ymail.com)
0 komentar:
Posting Komentar