Mungkin kita sering mendengar pernyataan di kalangan para
akhawat, bahwa mereka tidak menolak ta’adud
(poligami), karena memang agama tak melarang untuk memiliki istri lebih
dari satu dengan batas maksimal
empat. Mereka tidak akan menolak syariat dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, karena dalil tentang hal itu memang sudah jelas.
Tafsir para ulama’ juga gamblang membahasnya. Biasanya, mereka pun juga tak
pernah bermasalah ketika ada laki-laki yang
melakukan poligami dan bahkan
mendukung para ikhwan yang hendak berpoligami. Dengan catatan, “Para laki-laki, silakan berpoligami. Asalkan…,
bukan suami saya!”
Ada pula
yang dengan tegasnya menginternalisai dua opsi kepada sang suami, “Silakan poligami atau ceraikan saya.” Atau, ada
juga yang ketika masih fatayat (belum
menikah), dengan semangatnya ia menyatakan, “Nggak masalah suami poligami, yang penting saya maunya jadi istri yang
kesatu.” Namun, ketika ia sudah menikah dan menjalani indahnya bahtera
pernikahan dengan suami tercinta, pernyataan tersebut pun menjadi berubah. “Kalo bisa sih, maunya jadi istri
satu-satunya...”
Agak
paradoks memang, meski itu adalah ungkapan yang jujur dari lubuk hati terdalam.
Bisa dibilang, wanita mana sih yang
rela diduakan?
Antara Tauhid dan Poligami
Hal
paling mendasar yang perlu kita cermati dalam hal menyikapi fenomena tersebut
diatas, adalah menengok kembali pemahaman tauhid kita dan re-check niatan kita dalam melaksanakan ibadah menikah.
Sebenarnya,
jika memahami hakikat kehidupan kita ini adalah mentauhidkan Allah, mungkin
kita akan lebih mudah menjalankan segenap syariat Allah, termasuk poligami. Tauhid
akan menjadikan seseorang benar-benar memaknai bahwa setiap penggal kehidupan
seorang hamba adalah untuk beribadah kepada Allah, dengan penuh keimanan dan
keikhlasan. Hatinya dipenuhi oleh perasaan tunduk dan patuh yang
sepenuhnya ia tujukan untuk-Nya. Ia cintai Allah dan Rasul-Nya melebihi
segalanya. Ia mencintai selainnya karena Allah dan tak
lebih dari cintanya kepada Allah. Dia meninggalkan hawa nafsunya untuk semata-mata mengharapkan keridhaan Allah.
Tauhid, bila sempurna dalam hati
seseorang, Allah akan menjadikannya cinta pada keimanan dan dijadikannya
sebagai mahkota perhiasan yang bertahta di hatinya. Dengan tauhid, hal-hal yang
dibenci dan perkara-perkara yang terasa berat akan menjadi ringan. Karena jika
seseorang bertauhid dengan sempurna, dia akan menghadapi segala sesuatu yang
tidak mengenakkan, hal-hal yang tak disukai dan cobaan-cobaan yang menyakitkan
dengan dada yang lapang, tenang dan ridha. Pandangannya hanya tertuju pada satu
hal, agar Allah ridha kepada dirinya. Sebagaimana yang digambarkan Allah dalam
sebuah ayat, “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena
mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS
Al-Baqarah:207)
Dengan demikian, kita akan
sadar sepenuhnya bahwa segala sesuatu yang ada di hadapan kita hanyalah sarana. Sedangkan hanya ada satu
tujuan, … Allah! Segala sarana akan mengarah kepada tujuan. Segala yang kita
lakukan hanyalah untuk mendapat ridha Allah. Tak ada ‘ruang’ untuk tujuan yang lain. Hanya Allah. Satu.
Satu-satunya.
Menikah = Ibadah
Menikah, hanyalah salah satu sarana beribadah
kepada Allah. Suami, hanyalah sarana mendapatkan ridha
Allah. Mentaati suami dan birruzzauj (berbakti) kepada
suami adalah untuk Allah. Melakukan segenap perintah dan larangan yang ada
adalah karena Allah. Kita beramal dengan motivasi ridha Allah.
Ketika Allah membolehkan suami kita
menikah lagi, kenapa kita melarang? Kenapa masih ada rasa keberatan? Kenapa
juga membenci suami berpoligami
kalau Allah saja membolehkan? Haruskah membenci sesuatu yang disyariatkan
Allah?
Seharusnya, kita malu sama
Allah dan juga diri kita. Malu
ternyata nafsu kita masih
mendominasi dan mengalahkan aturan syar’i. Ternyata, kita belum 100% menundukkan hawa nafsu atas seluruh
syariat Allah.
Menyikapi poligami memang harus menggunakan bahasa iman, bukan perasaan.
Karena melaksanakan syariat adalah sebagai
ujian keimanan. Apakah kita tetap mendahulukan ketundukan atas syariat Allah,
atau keengganan atas nama perasaan. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal
ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal
ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS
Al-Baqarah:216)
Berbagi suami
Ternyata,
banyak hal-hal positif yang bisa diambil dari istri yang suaminya berpoligami.
Diantaranya, seorang istri akan lebih memiliki waktu luang untuk meningkatkan
intensitas dan kualitas amal yauminya. Ketika suaminya bersama istrinya yang
lain, ia justru bisa semakin berkhalwat dengan Allah, menghabiskan waktu-waktu
yang biasanya ia gunakan untuk melayani suami dengan semakin mendekatkan diri
kepada-Nya. Ia pun juga lebih memiliki waktu untuk bisa mengembangkan potensi
dirinya, dan melakukan banyak hal yang mungkin tidak sempat ia lakukan ketika
waktunya habis dalam ‘jam kerja’ melayani suami selama 7x24 jam.
Poligami
juga mengajarkan untuk bersikap itsar
kepada saudara muslimah yang notabene adalah istri suaminya. Suami
bukanlah ‘properti’ miliknya.
Sehingga harus dikapling dan menjadi hak miliknya seutuhnya. Suami
hanyalah sarana untuk mendapatkan ridha Allah. Jikalau kita mencintainya
sepenuh hati, bukankah cinta itu atas dasar cinta kita kepada Allah? Karena itu
pula, poligami mengajarkan tentang cinta yang ikhlas. Ketaatan yang tulus,
serta fastabiqul khairat diantara
para istri atas motivasi menggapai mardhatillah.
Siapakah yang lebih baik amalnya?
Berbagi
suami memang bukanlah hal yang mudah. Karena kita justru harus berhadapan
dengan diri kita sendiri. Bertarung dengan perasaan kewanitaan yang ada pada
benak dan nurani kita sendiri. Karena itulah, hanya bahasa iman yang mampu
menjawabnya. Lagipula, jikalau dalam lauhul
mahfuzh Allah telah ditetapkan bahwa istri suami kita berjumlah dua, tiga
atau empat, bukankah tak ada yang bisa mengubahnya? Dan tak ada sikap yang
lebih baik kecuali dengan ketundukan dan kesiapan atas takdir yang pasti
terjadi atas diri kita. Masya Allahu
kaana, walam yakun lam yasya’...(ishlah@ymail.com)
0 komentar:
Posting Komentar