ShareThis

RSS

Ilusi Feminisme

“…the wife became the head servant, excluded from all participation in social production”, demikian kata Frederich Engels, dalam bukunya The Origin of the Family : Private Property and The State. Ada pula produk “racun-racun” feminisme serupa statemen diatas, seperti : motherhood is slavery, atau women as the second sex.

Saat ini, perempuan dalam sektor domestik dianggap sebagai sebuah posisi yang memarginalkan kaum perempuan. Wanita hanya sebatas obyek dan laki-laki sebagai subyek. Peran dalam sektor ini dianggap sebagai subordinasi yang merendahkan kedudukan wanita. Rumah yang seharusnya menjadi ‘medan tempur’ bagi kaum wanita, dianggap sebagai ‘penjara’, yaitu tempat dimana seorang wanita menjadi ‘tahanan’ yang dikurung dari kebebasannya. Itulah salah satu bentuk pemikiran para feminis yang mereka perjuangkan.

Dalam perspektif historis, pada hakikatnya gerakan feminisme adalah isu milik kaum perempuan kelas menengah ke atas (golongan elit) yang ingin membebaskan diri dari pekerjaan-pekerjaan rutin rumah tangganya di negeri-negeri Barat (terutama AS) pada tahun 1960-an dan 1970-an. Di tahun 1963 itulah Betty Friedan menerbitkan The Feminine Mystique. Dari sinilah dimulai kampanye isu persamaan kekuasaan. Dikatakan bahwa peran domestik perempuan merupakan penindasan terhadap perempuan, dan pekerjaan rumah tangga adalah rendah yang tidak produktif. Bahkan Millet dalam bukunya berjudul Sexual Politics mengatakan bahwa lembaga keluarga adalah Old Age Evil. Keadaan sosial ekonomi dan budaya juga memberikan suasana kondusif bagi gerakan feminisme, seperti budaya materialisme, liberalisme, dan individualisme, membuat gerakan ini menjadi cukup berpengaruh (Al-Hasany, 1996).

Pada tataran realita, konsep yang diperjuangkan kaum feminis, sebagaimana yang terjadi di AS menjadi sebuah konsep yang memilik efek ‘mengerikan’. Kenyataannya, terjadi titik balik feminisme, yang membuktikan bahwa para wanita memang diperlukan dalam peran domestiknya sebagai ibu rumah tangga. Bukti bahwa kebebasan dan kemerdekaan yang mereka inginkan hanyalah ilusi semata.

Dengan semakin maraknya gerakan feminisme di Barat sejak 1960-an, partisipasi angkatan kerja perempuan meningkat drastis. Di AS, sekitar 33% pada tahun 1950 menjadi 60% pada pertengahan 1980. Namun di sisi yang lain, antara tahun 1963 dan 1975, angka perceraian di AS meningkat sebesar 100%. Juga masalah kesejahteraan anak-anak yang semakin mengkhawatirkan. Isu-isu tersebut memberikan kontribusi pada berbaliknya arah perkembangan pemikiran feminisme pada pasca 1980-an. Susan Gordon dalam bukunya The Prisoner of Men’s Dream, menyatakan pengalaman pribadinya yang merasa dikhianati. Ia menjadi aktivis feminis karena percaya dengan slogan feminis, bahwa masuknya perempuan ke dunia maskulin dapat mentransformasikan dunia menjadi lebih damai. Ternyata yang ia dapatkan keadaan dunia semakin rusak, karena perempuan telah masuk ke dalam perangkap sistem patriarkis dan menjadi male clone (Megawangi, 1996).

Lisa Belkin, penulis buku Life’s Work, menyebutkan bahwa 57% dari mahasiswa perempuan Stanford angkatan tahun 1981 memilih menghabiskan waktu sekitar setahun untuk mengasuh bayi mereka. Sementara itu, perempuan lulusan Harvard Business School angkatan tahun 1981, 1985, dan 1991, hanya 38% yang bekerja penuh di kantor.

Bahkan di tahun 2003, kecenderungan sebagian perempuan di AS untuk bekerja paruh waktu atau lebih memilih menjadi ibu rumah tangga juga terjadi. Situs www.nytimes.com, menulis dilihat dari angka di perguruan tinggi jumlah terbanyak mahasiswa berotak cemerlang adalah perempuan, namun data pada angkatan kerja bicara sebaliknya.

Beberapa perguruan tinggi terkemuka di AS, seperti Berkeley Law School, sebanyak 63% lulusannya pada tahun 2003 adalah wanita, Harvard 46%, dan Columbia 51%. Hampir 47% dari mahasiswa kedokteran adalah perempuan, dan 50% mahasiswa perempuan pada jurusan bisnis.

Adapun pada angkatan kerjanya, hanya 16% perempuan yang menjadi mitra pada kantor konsultan hukum, 16% perempuan pada sebagai karyawan menengah perusahaan, dan hanya 8 perusahaan yang memiliki CEO atau presiden direktur perempuan, menurut Fortune 500. Dari 435 anggota DPR AS, hanya 62 orang perempuan. Bahkan lembaga senatnya, hanya memiliki 14 perempuan dari 100 anggotanya.

Sensus juga menunjukkan, jumlah ibu rumah tangga di AS meningkat sekitar 13% dalam waktu kurang dari 10 tahun terakhir (dari tahun 2003). Sementara itu, pada wanita usia produktif 25-44 tahun, sebanyak dua pertiganya bekerja paruh waktu atau kurang dari 40 jam seminggu. Hasil survei Catalyst menunjukkan, 26% perempuan pada level manajemen senior tak menginginkan promosi jabatan.

Katherine Brokaw, wanita lulusan Princeton dan Columbia Law School, berkata, “Saya tak ingin menjadi mitra di kantor konsultan hukum yang bergengsi. Orang lain mungkin mengartikannya sebagai kesuksesan, tapi saya tidak.” Brokaw memilih tinggal di rumah bersama tiga anaknya. Padahal, ia menjadi ‘rebutan’ kantor konsultan hukum di New York (Kompas, Minggu, 16 Februari 2003).

So, tidak perlu khawatir ‘terjebak’ dalam rutinitas kerja rumah tangga dan pekerjaan domestik, yang disebut-sebut kaum feminis sebagai transformasi sosial, dengan membebaskan diri dari pekerjaan mulia sebagai ibu rumah tangga. Realita di AS sebagai tempat kelahiran gerakan feminis, sebagai bagian dari radical culture yang termasuk dari gerakan civil right dan sexual liberation disana. Karena pada realitanya, apa yang diperjuangkan oleh kaum feminis tersebut—sekali lagi—hanyalah ilusi.

Tepat seperti sebuah pertanyaan retoris yang diterjemahkan dan dikirimkan (di-forward) oleh Anang M Yusuf dan diposting di internet,
“When a western woman stays at home to look after the house and kids she's sacrificing herself and doing good for the household, but when a Muslim woman does so, she "needs to be liberated"?
(Jika seorang wanita barat tinggal di rumah dan merawat rumah beserta anak-anaknya, ia dianggap tengah berkorban dan berbuat baik untuk rumahtangganya, tetapi jika seorang perempuan Muslim melaksanakannya ia dianggap "perlu dimerdekakan".)

Dan seorang muslimah yang memahami hak-hak serta kewajibannya, tidak akan terjebak dalam isu-isu feminisme berkaitan dengan perjuangan pembebasan perempuan (women’s liberation) dan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan secara mutlak (equal rights amandement) yang notabene berasal dari Barat yang jelas-jelas bukan Islam. Karena Islam telah mengaturnya secara proporsional dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan sumber aturan dan standar ukuran kebenaran, dengan memberikan porsi yang proporsional.

Islam mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan wanita adalah adil (lihat QS An-Nisa’: 1 dan QS At-Taubah: 71). Islam juga mengakui bahwa dalam mengatur hak dan kewajiban antar laki-laki dan wanita adalah atas dasar keadilan. Laki-laki memiliki hak dan kewajiban terhadap wanita, dan begitupula sebaliknya.

Laki-laki dan wanita diciptakan bukan untuk saling bertentangan, melainkan untuk saling berintegrasi dan saling melengkapi. Antara keduanya ibarat siang dan malam. Meskipun fungsinya berbeda, akan tetapi keduanya saling melengkapi dan seiring sejalan. Dalam surat Al-Qashshash:71-73, disebutkan tentang hikmah penciptaan siang dan malam dimana keduanya berada dalam suatu fungsi yang memiliki integrasi kuat, bukan fungsi yang saling bertentangan. Demikian pula antara laki-laki dan wanita.

Wanita sebagai ibu dan istri, memiliki fungsi dan peran besar dalam pembentukan generasi dan masa depan bangsa, yang hanya bisa dilakukan oleh wanita. Karena, dalam ilmu psikologi, manusia dilahirkan dengan empat jenis naluri, lapar, haus, seks, dan keibuan. Tidak ada naluri kebapakan. Siapa lagi yang menjadi ibu kalau bukan wanita? (ishlah@ymail.com)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Istri Pengkhianat



Sebagai partner dalam perjuangan iqamatuddin, seorang istri diharapkan bisa mendampingi suami dan mendukung aktivitas iqamatuddin semaksimal mungkin. Meski ternyata, terdapat pula istri-istri pengkhianat perjuangan. Bukannya menjadi mitra juang, sang istri justru menjadi “musuh dalam selimut” bagi suami. Saat suaminya memperjuangkan dan menyampaikan kebenaran, mereka malah menjadi pengkhianat dakwah.
Permisalan kisah istri pengkhianat disebutkan Allah di dalam al-Qur’an. “Allah membuat istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah ikatan pernikahan dengan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami. Lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suami mereka, maka kedua suami mereka itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari siksa Allah, dan dikatakan kepada keduanya: ‘Masuklah kalian berdua ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk neraka’.” (QS. At-Tahrim: 10). Menurut As-Suhaili, “Nama istri Luth adalah Walahah, sementara istri Nuh adalah Walaghah.”           

Istri Nabi Nuh dan Nabi Luth
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi Nuh untuk membuat sebuah bahtera yang amat besar di atas bukit. Perahu itu akan memuat Nabi Nuh orang-orang yang beriman, serta beragam makhluk yang mempunyai ruh yang dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk tetap hidup, sebelum Allah menimpakan azab berupa banjir bandang kepada kaumnya.
                Melihat Nabi Nuh membuat perahu tersebut, kaumnya makin ingkar dan mengejek perbuatannya. Tak terkecuali istri Nabi Nuh yang juga turut mencemooh dan berkata kepada orang-orang: “Nuh itu gila”. Dan apabila ada seseorang yang beriman kepada Nabi Nuh, istrinya pun mengabarkannya kepada kaumnya yang zalim dan kufur. Inilah bentuk pengkhianatan istri Nabi Nuh, sehingga Allah pun mengazabnya bersama orang-orang kafir.
                Sementara itu, istri Nabi Luth adalah seorang istri Nabi yang diutus Allah kepada kaum yang berperangai lebih rendah dari binatang. Tidak ada satu kaum pun sebelum mereka yang memiliki keburukan moral seperti itu. Mereka adalah kaum yang ‘memopulerkan’ perilaku homoseksual.
Kediaman Nabi Luth sering kedatangan tamu laki-laki dari kaum lain. Di antara tamu-tamu tersebut adalah para lelaki yang berparas tampan. Istri Nabi Luth dalam hal ini berperan sebagai informan bagi kaumnya yang gemar melakukan homoseksual, mengenai keberadaan tamu laki-laki yang ada di rumah Nabi Luth.
Suatu ketika, datanglah malaikat yang menjelma menjadi para pemuda rupawan yang bertamu di rumah Nabi Luth. Saat Nabi Luth melihat mereka, Nabi Luth mengkhawatirkan keadaan mereka. Tidak ada yang mengetahui kedatangan mereka selain istri Nabi Luth. Hingga akhirnya, istri Luth membocorkan kedatangan tamu-tamu tampan tersebut kepada kaum Nabi Luth.
Maka, kaumnya pun bergegas menuju rumah Nabi Luth dengan maksud untuk melakukan perbuatan keji dengan para tamu tersebut. Mereka berkumpul sambil berdesakan di dekat pintu rumahnya, memanggil Nabi Luth dengan suara keras agar Nabi Luth mengeluarkan tamu-tamunya itu kepada mereka. Masing-masing dari mereka berharap dapat bersenang-senang dan menyalurkan syahwatnya kepada tamu-tamunya itu.
Demikianlah pengkhianatan mereka kepada suami mereka. Status mereka sebagai istri seorang Nabi yang shalih, tak ada manfaatnya secuil pun bagi mereka. Sehingga, mereka pun terjebak pada kekufuran dan mendapat azab Allah di dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, berkaitan dengan tafsir ayat QS. At-Tahrim ayat 10 yang disebutkan di atas, Ibnu Katsir dalam tafsirnya menekankan bahwa tidak ada jaminan suami yang shalih —hingga sekelas nabi pun— dapat mengajak istrinya ke jalan yang benar, ketika tidak ada cahaya iman di dalam hati sang istri. Dan sekali-kali keimanan suami juga tidak dapat memberikan manfaat apapun dan tidak bisa menahan keburukan bagi istrinya.

Bukan Selingkuh
Istri Nabi Luth dan Nabi Nuh berkhianat dalam hal tidak mengikuti agama, bukan berkhianat dalam perselingkuhan. Karena, Allah tidak menakdirkan seorang Nabi pun memiliki istri yang berselingkuh. Sebagaimana yang disampaikan Ibnu Abbas dan imam salaf lainnya, bahwa tidak ada seorang pun istri Nabi yang berselingkuh.
Dijelaskan pula oleh Syaikh Shalih Fauzan, bahwa kedua perempuan istri Nabi Nuh dan Nabi Luth telah mengkhianati amanat suami mereka, dari sisi keharusan istri menjaga rahasia suami, tidak memberi tahu orang lain tentang sesuatu yang mengandung rahasia suami, tamu-tamu suami, dan lainnya. Pengkhianatan kedua istri ini bukanlah dalam hal kehormatan, tetapi dalam hal agama atau dalam hal tidak menjaga rahasia suami.
                Profil istri pengkhianat tersebut, cukup menjadi pelajaran bagi kita, agar tak mengikuti jejak mereka. Istri adalah mitra setia suami dalam segala hal dan kesempatan. Bukan hanya partner dalam urusan rumah dan ranjang, juga partner dalam hal dakwah dan berjuang. (ishlah.blogspot.com)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Diberdayakan oleh Blogger.