ShareThis

RSS

Bukan Air Mata Biasa

Seorang ibu muda tampak mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Sulit rasanya membendung tangisnya ketika melihat adegan sinetron yang begitu memilukan di hadapannya. Di tempat yang lain, seorang muslimah sedang khusyu’ melantunkan kalamullah dalam qiyamullail-nya. Sambil meresapi makna ayat tersebut, tak terasa melelehlah air matanya. Semakin ia men-tadabburi ayat-ayat Allah yang ia baca, makin terisak dirinya tak kuasa menahan deras air matanya.
            Sebagai seorang wanita, pasti kita akan lebih mudah mengeluarkan air mata daripada laki-laki. Hal ini disebabkan dominasi perasaan wanita yang lebih kuat dibanding laki-laki. Dan ternyata potensi untuk lebih mudah menangis tersebut, berpeluang untuk diarahkan sebagai sebuah bentuk ibadah. Ibadah tersebut adalah menangis karena Allah.
           
Berbagai tangisan
            Menurut Yazid bin Maisarah, tangisan terjadi karena tujuh sebab; (1) karena rasa gembira, (2) karena sedih, (3) karena takut, (4) karena riya’ (ingin dilihat orang), (5) karena sakit, (6) karena rasa syukur, dan (7) karena takut kepada Allah Azza wa Jalla, yang tetesan air matanya bisa memadamkan lautan api neraka.
            Menangis pada dasarnya merupakan fitrah manusia yang tidak bisa ditolak keberadaannya. Sehingga, hukum menangis pada dasarnya mubah, kecuali tangisan yang dikecualikan oleh syara’ seperti : tangisan yang mencerminkan kemarahan, penyesalan atau penolakan terhadap qadha’ dan takdir Allah, juga tangisan yang disebabkan atas kematian orang kafir atau thaghut, kematian orang yang suka berbuat kerusakan, serta tangisan orang yang dimabuk asmara karena cinta buta dan tangisan para biduan dalam nyanyian-nyanyian mereka yang batil.
            Menangis karena Allah muncul karena perasaan dan jiwa yang hanyut dalam kecintaan, pengharapan dan rasa takut kepada Allah yang sangat mendalam. Dalam kondisi demikian, seseorang akan larut dalam kesyahduan ibadah yang dilandasi iman yang sempurna. Air mata pun akan mengalir dari hati yang lembut dan lurus. Karena antara mata dan hati sangat berkaitan. Jika hati lembut, mata akan mudah meneteskan air mata. Namun jika hati mengeras, mata akan mengering dan air mata sulit mengalir. Ibnul Qayyim berkata, “Ketika mata mengering dari tangisan karena takut kepada Allah Azza wa Jalla, maka ketahuilah bahwa keringnya itu disebabkan oleh kerasnya hati. Sedangkan hati yang paling jauh dari Allah adalah hati yang paling keras.” (Badi’ul Fawa’id:3/743)
            Karenanya, ketika alunan ayat-ayat suci Al Qur'an terlintas di pendengaran para wanita mukminah nan salehah, mereka lalu meresapinya hingga masuk ke dalam lubuk hati mereka. Maka pada saat itulah hati mereka bereaksi untuk melelehkan air mata. Hatinya begitu sensitif ketika mendengar targhib dan tarhib. Membayangkan seolah dirinya tak pantas mendapat surga, tapi begitu berharap menjadi salah satu penghuninya, tapi ia juga sadar ia bahwa dirinya belum melakukan apa-apa (merasa sedikit sekali beramal). Ia juga sangat khawatir termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala, merasa ngeri dan takut dilempar kesana. Pun sebagai manusia yang tak lepas dari kesalahan dan dosa, air matanya deras mengalir karena menangisi dirinya. Seolah, betapa hina dirinya di hadapan Allah yang senantiasa memberikan nikmat dan karunia.   

Menangis karena Khasyah
            Menangis karena khasyatullah (takut kepada Allah) hanyalah muncul karena ilmu kita akan Allah. Sejauh mana kita mengenal Allah dan kedekatan kita dengan-Nya. Sebab, barangsiapa mengenal Allah, niscaya dia akan mencintai-Nya (bukankah tak kenal maka tak sayang?), mengenal Allah juga akan menghadirkan rasa takut dan berharap kepada-Nya. Ketiga hal tersebut—mahabbah (cinta), khauf (takut) dan raja’ (berharap)—merupakan penyangga-penyangga iman yang bisa menyebabkan seorang muslimah bisa menangis karena Allah.  
            Orang yang dimabuk cinta akan menangis karena rasa rindu yang membuncah terhadap kekasihnya. Maka jika kita mencintai Allah, pastinya kecintaan kita kepada-Nya akan membuat kita menangis karena cinta dan kerinduan yang menggumpal di dada.
            Begitu pula jika takut kepada Allah akan Kebesaran-Nya dan pedih siksa-Nya, maka hal itu akan membuat kita menangis ketakutan dan berlindung kepada-Nya. Pun demikian jika kita berharap pada-Nya. Pengharapan itu akan membuat diri kita menangis penuh harap, karena tidak ada tempat untuk bergantung, menyandarkan diri, dan memohon dengan amat sangat untuk mendapatkan ridha, pahala serta balasan dari-Nya.
Karena itu, mengenal Allah dalam hal uluhiyah (peribadahan), rububiyah (kekuasaan dan penciptaan) serta asma’ wa shifat (nama-nama dan sifat-Nya) menjadi awal bagi diri kita untuk bisa mengenal-Nya, dan menumbuhkan ketiga penyangga iman tersebut.
            Rasulullah SAW adalah sosok yang paling lembut dan paling bersih hatinya. Beliau juga paling dalam ilmu dan pengetahuannya tentang Allah Ta’ala. Beliau bersabda, “Andai kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sehingga, air mata beliau begitu mudah mengalir membasahi pipi beliau.
            Menangis karena takut kepada Allah juga dapat menjadi penghalang seseorang dari neraka. Ibnu Abbas r.a menyampaikan, “Saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Ada dua mata yang tidak disentuh api neraka: mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang yang semalaman berjaga di jalan Allah.” (HR At-Tirmidzi).

Hanya untuk Allah
            Yang juga harus diperhatikan dalam hal menangis karena Allah, bahwasanya air mata kita adalah air mata yang menetes untuk ditujukan kepada Allah. Bukan supaya kita dikatakan sebagai orang yang khusyu, bertakwa dan berhati lembut. Sehingga tangisan kita bukanlah tangisan yang dibuat-buat sekadar untuk dilihat dan dipuji orang lain. Sebagaimana para salaf yang menahan tangisan dan berusaha menghentikannya semampu mereka. Syaikh Abdullah Azzam berkata, “Barangsiapa mampu menahan tangisnya, namun dia tidak menahannya, maka sungguh dikhawatirkan ia sedang berbuat riya’.”
            Muhammad bin Wasi’ bertutur, “Aku telah bertemu dengan orang-orang saleh; salah seorang dari mereka tidur sebantal dengan istrinya, sedangkan air matanya mengalir di pipinya, namun istrinya tidak menyadari keadaannya. Aku juga telah bertemu dengan orang-orang saleh; salah seorang dari mereka berdiri di shaf, sedangkan air matanya mengalir di pipinya, namun yang di sebelahnya tidak mengetahui keadaannya.” (Ummu Aman)
           

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.