Akhwat muslimah, ketika ia telah
bergelar sebagai zaujah dan ummahat,
sering kali identik dengan tugas “dapur sumur kasur” saja. Seolah,
berkutat dengan ketiga hal tersebut sudah cukup menguras waktu dan energi dalam
hidup.
Sehingga, banyak dari mereka yang
“luas hidupnya” hanya sebatas panjang kali lebar rumahnya. Aktivitas hariannya
pun hanya berkutat dengan tugas kerumahtanggaan yang sifatnya fungsional.
Bangun tidur, sibuk dengan aktivitas domestik seharian, kemudian tidur lagi. Demikian seterusnya setiap hari.
Padahal, tugas dan aktivitas menuntut adanya profesionalitas yang membutuhkan
pengetahuan dan wawasan yang sering kali berkembang.
Mendidik anak, misalnya. Butuh
“perangkat ilmu” yang cukup, baik dari sisi diniyah maupun aspek-aspek
selainnya. Untuk memberikan input yang baik terhadap aspek fikriyah anak, seorang
ummahat juga membutuhkan input untuk dirinya, yang kemudian ia transfer pada
anak-anaknya dengan filter syar’i.
Apalagi, di tengah derasnya arus
perkembangan informasi dan teknologi yang begitu pesat. Membuat kita harus
mencerna ulang dengan seksama, bahwa kita harus mendidik anak sesuai dengan zamannya.
Dengan tetap berkomitmen nilai-nilai syar’i, namun mumpuni dalam menghadapi
tantangan zaman yang sedang dihadapi.
Satu fenomena yang memprihatinkan,
jika seorang anak berinteraksi dengan bebas terhadap lawan jenis via sosial
media, hobi main online games yang sarat pornografi, sibuk download
film-film Hollywood dan drama Korea; namun sang ibu justru tak tahu apa itu
youtube, facebook, twitter atau pun game
online. Yang ia tahu, bahwa sang anak pergi ke warnet untuk mencari
referensi dalam mengerjakan tugas dari sekolah. Ironis memang.
Pun dalam upaya mencukupi aspek psikis
dan jasadiyah anak, juga membutuhkan wawasan dan pengetahuan yang cukup. Seorang
ummahat harus paham tentang cara mendidik anak, psikologi perkembangan anak
secara umum, serta tahapan dan fase yang ada dalam pertumbuhan dan perkembangan
anak.
Ia juga harus tahu, mana asupan
makanan yang baik (halalan thayyiban) dan mana yang tidak. Pengetahuan
tentang kesehatan anak dan keluarga secara umum, pola hidup sehat, dan juga
wawasan tentang makanan sehat yang memiliki kandungan gizi memadai. Bukankah
kita akan membentuk pejuang tangguh yang harus disiapkan fisiknya?
Belum lagi, kita juga membawa misi
yang lebih berat dari orang tua kebanyakan. Yaitu, mewariskan ideologi dan
tongkat estafet perjuangan iqamatuddin kepada anak-anak kita. The next
generation, yang semoga bukan the lost generation—naudzubillah—yang
disebabkan karena kurang optimalnya kita dalam mengarahkan mereka meniti jalan
perjuangan yang penuh tantangan ini.
Bagaimana mungkin, kita bisa
memunculkan solidaritas atas perjuangan para mujahidin di bumi ma’rakah kepada
anak-anak kita, menggambarkan suasana pilu dan perihnya penderitaan
saudara-saudara mereka di wilayah-wilayah konflik; yang dibombardir, dibantai,
dianiaya, dan dibunuh hidup-hidup, jika kita tak up date terhadap
kondisi dan kabar dunia Islam yang ada?
Dunia Islam tak selebar daun kelor.
Keluarga kita bukan hanya segelintir orang yang berkumpul di rumah kita. Bahkan
rumah kita juga bukan hanya sepetak tanah yang kita tempati.
Miris jika anak-anak kita tak sadar (atau
justru tak pernah tahu?), bahwa bocah-bocah yang dihabisi secara massal itu
juga saudara-saudara mereka, yang seharusnya mereka turut merasakan penderitaan
saudaranya dan berpikir, apa yang bisa mereka lakukan untuk saudara-saudara
mereka di sana?!
Dan bahwa rumah-rumah yang lebur
dihantam rudal di atas bumi Islam itu juga ‘rumah mereka’, bahkan sejengkal
tanah kaum muslimin yang dirampas oleh orang-orang kafir itu juga ‘rumah
mereka’ yang harus direbut kembali.
Bagaimana mereka tahu di belahan bumi
mana saja ‘rumah mereka’, di wilayah mana saja dakwah Islam berkembang dan
jihad mulai bermekaran, di wilayah manakah konflik antara hizbullah dan hizbusysyaithan
pecah? Bagaimana kita bisa memberitahukan dan menggambarkan “hiruk pikuk” alam
Islam, jika kita sendiri tak tahu menahu?
Karena itulah, penting untuk selalu mengembangkan
keilmuan syar’i, sekaligus up date wawasan dan informasi berkaitan
dengan peran dan tugas kita. Dengan selalu mengembangkan keilmuan dan wawasan
yang ada, akan terbentang di hadapan kita beragam fenomena dan geliat kehidupan.
Realitas akan pertarungan dua kubu yang menjadi pangkal dari seluruh
pertarungan dan konflik yang ada, yaitu antara tauhid vs syirik, juga
pergumulan antara haq dan bathil yang semakin tipis batas keduanya.
Dengan bekal ilmu syar’i dan wawasan
yang ada, kita pun dapat “memandang” dalam angle yang lebih
luas. Sehingga, kita tak
terpaku pada satu lorong yang membuat kita berhenti, mundur, atau merasakan
kebuntuan. Namun, akan membuat kita memiliki seribu cara untuk bertahan,
menghalau segala rintangan, menyusun kekuatan dalam mencapai tujuan.
Kita bukanlah katak dalam tempurung.
Yang hanya bengong menatap tempurung, tanpa tahu apa yang terjadi di luar sana.
Jika kita masih tinggal dalam tempurung, maka saatnya kita keluar dan menghirup
udara keleluasaan dalam memandang dan berpikir luas. Tiba saatnya bagi kita
untuk terlepas dari kungkungan tempurung yang menyelimuti cakrawala pikiran dan
“penjara” yang kita ciptakan. Menikmati hidup di alam Islam yang sebenarnya. Bebas
dari batas dan sekat wilayah yang ada. Bertindak secara lokal, namun berpikir
dan bervisi global untuk Islam. (Ummu Aman)
0 komentar:
Posting Komentar