ShareThis

RSS

Hanya Karena dan Untuk-Nya !



Seorang ummahat berdandan rapi dan berusaha tampil cantik untuk sang suami. Ia selalu menanti kehadiran suami pulang ke rumah dengan penampilan terbaiknya. Namun sayang, sang suami tidak terlalu memperhatikan upaya berdandan yang ia lakukan. Suaminya hanya lewat begitu saja. Seolah tak ada bedanya, apakah ia berdandan atau tidak. Tak ada kata pujian. Tak ada respons yang berarti.
            Menu spesial untuk suami telah disiapkan. Masakan yang berkategori istimewa tersebut telah terhidang, siap untuk disantap. Tapi, siapa sangka ternyata sang suami sama sekali tak menyentuhnya, karena sudah makan di luar bersama rekan-rekannya. Sehingga, masakan spesial itu, hanyalah dirinya yang memakannya. Sudah capek masak sendiri, yang makan juga dirinya sendiri. Duh!
            Ilustrasi di atas adalah cuplikan kejadian yang mungkin saja terjadi di antara kita. Berusaha melakukan sesuatu untuk sang suami, namun apa daya hasil tak sesuai harapan.

Allah Menilai Usaha Kita
            Dalam beramal, acap kali hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Tapi setidaknya, kita sudah mendapat pahala dari niat dan usaha yang sudah kita lakukan. Karena, Allah melihat dan menilai proses usaha tersebut. Bukan hasil akhirnya.
            Sering kali, kita selalu terpaku pada kondisi untuk menilai sesuatu berdasarkan hasil. Semenjak kecil, apresiasi atas prestasi kita, hanya bisa kita dapatkan jika hasil nilai ulangan kita bagus atau mendapat rangking di kelas. Padahal, bisa jadi ada anak yang sudah berusaha keras untuk menjalani proses belajar, namun hasilnya pas-pasan. Sebaliknya, ada pula yang mungkin mendapatkan nilai bagus karena menyontek saat ulangan.
            Sering kali pula, kita menjadi merasa tidak berharga ketika usaha yang kita lakukan tak membawa hasil apapun, padahal kita sudah berjibaku dengan banyak hal, jatuh bangun dan berupaya keras. Karena kita memandang, bahwa yang dinamakan “hasil” adalah yang dinilai dari timbangan manusia. Padahal, sebaik-baik yang menilai usaha kita adalah Allah.
            Sehingga,untuk kasus yang diilustrasikan di atas, mungkin akan muncul perasaan kecewa dan marah. Meski perasaan tersebut manusiawi, namun dikhawatirkan bisa-bisa merusak bangunan amal yang sudah diupayakan dengan maksimal sebelumnya.
            Berusaha melakukan amal yang terbaik memang diperintahkan. Bahkan prestasi kita di dunia ini juga diukur dari siapakah yang lebih baik amalnya. “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Al-Mulk : 2). Namun kadang kala kita lupa, bahwa Allah menilai amal dari keikhlasan niat dan optimalnya usaha kita. Bukan hasilnya.
           
Hanya Karena Allah
            Apalagi, jika kita memaknai bahwa kebaikan yang kita lakukan kepada suami adalah bagian dari ibadah kepada Allah, maka sebagaimana amal ibadah yang lain, tak akan bernilai dan diterima oleh-Nya jika tak memenuhi syarat diterimanya ibadah, yang salah satunya adalah ikhlas.   “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (QS Az-Zumar : 2-3)
            Pada dasarnya, setiap amal yang kita lakukan akan dibalas sesuai dengan apa yang kita niatkan. “Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung kepada niatnya dan tiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan” (HR Bukhari Muslim).
            Berkata Ibnu Qayyim rahimahullah, ”Sesungguhnya niat itu laksana ruh, sedangkan amalan itu laksana badan, jikalau ruh itu meninggalkannya, maka ia akan mati. Karena itulah, mempelajari hukum-hukum hati itu lebih penting daripada mempelajari hukum-hukum amalan badan.”
            Jika kita melakukan setiap kebaikan terhadap suami karena Allah, maka kita akan merasakan ketenteraman jiwa dan ketenangan batin. Karena, kita tidak gusar dengan penantian mendapatkan pujian maupun penghargaan darinya. Kita tidak akan pernah merasa kecewa, jika kemudian tak ada pujian atau pun apresiasi lainnya. Sebab jika kita ikhlas karena Allah, kita akan mencukupkan diri dengan Allah. Bersama Allah dan berharap pada-Nya, pasti tidak akan kecewa.
            Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika kita sering kecewa dengan situasi dan kondisi hidup yang menghampiri kita, jika kita tidak ikhlas karena-Nya. Orang yang tidak ikhlas akan banyak menelan pil pahit kekecewaan, karena ia memang terlalu banyak berharap atas sesuatu dari sisi manusia. Sedangkan orang yang ikhlas, melakukan segala sesuatu tanpa mengharap apapun dari manusia.
            Tidak mudah memang, menjadikan ikhlas senantiasa melandasi setiap amal yang kita lakukan dalam setiap saat dan setiap waktu. Ikhlas adalah suatu kata singkat yang sering didengar bahkan mungkin sering diucapkan, yang dalam penerapannya bukanlah perkara mudah. Namun, justru itulah ujian amal seorang hamba, sehingga dibutuhkan kesungguhan yang besar, agar dapat melaksanakan amalnya dengan baik.
            Suhail bin Abdullah At-Tusturi rahimahullah pernah ditanya, “Apakah yang paling berat pada diri manusia?” Beliau berkata “Ikhlas, sebab dengan ikhlas itu hawa nafsu tidak mendapatkan untung.”
            Rincian berbuat baik pada suami dan berbakti kepadanya sangatlah banyak, begitu pula dengan rincian dari amalan kebaikan yang kita lakukan terhadap anak, orang tua, teman maupun tetangga kita. Di antara segenap amalan kebaikan tersebut, kita harus berjuang dengan sungguh-sungguh (mujahadah) untuk senantiasa menghadirkan keikhlasan. Dan orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh, akan diberi jalan kemudahan oleh Allah, sebagaimana firman-Nya, “Dan orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut : 69). (Ummu Aman)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.