Seorang ummahat berdandan rapi dan berusaha
tampil cantik untuk sang suami. Ia selalu menanti kehadiran suami pulang ke
rumah dengan penampilan terbaiknya. Namun sayang, sang suami tidak terlalu
memperhatikan upaya berdandan yang ia lakukan. Suaminya hanya lewat begitu
saja. Seolah tak ada bedanya, apakah ia berdandan atau tidak. Tak ada kata
pujian. Tak ada respons yang berarti.
Menu
spesial untuk suami telah disiapkan. Masakan yang berkategori istimewa tersebut
telah terhidang, siap untuk disantap. Tapi, siapa sangka ternyata sang suami
sama sekali tak menyentuhnya, karena sudah makan di luar bersama
rekan-rekannya. Sehingga, masakan spesial itu, hanyalah dirinya yang
memakannya. Sudah capek masak sendiri, yang makan juga dirinya sendiri. Duh!
Ilustrasi
di atas adalah cuplikan kejadian yang mungkin saja terjadi di antara kita.
Berusaha melakukan sesuatu untuk sang suami, namun apa daya hasil tak sesuai
harapan.
Allah Menilai Usaha Kita
Dalam
beramal, acap kali hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Tapi
setidaknya, kita sudah mendapat pahala dari niat dan usaha yang sudah kita
lakukan. Karena, Allah melihat dan menilai proses usaha tersebut. Bukan hasil
akhirnya.
Sering
kali, kita selalu terpaku pada kondisi untuk menilai sesuatu berdasarkan hasil.
Semenjak kecil, apresiasi atas prestasi kita, hanya bisa kita dapatkan jika hasil
nilai ulangan kita bagus atau mendapat rangking di kelas. Padahal, bisa jadi
ada anak yang sudah berusaha keras untuk menjalani proses belajar, namun
hasilnya pas-pasan. Sebaliknya, ada pula yang mungkin mendapatkan nilai bagus
karena menyontek saat ulangan.
Sering
kali pula, kita menjadi merasa tidak berharga ketika usaha yang kita lakukan tak
membawa hasil apapun, padahal kita sudah berjibaku dengan banyak hal, jatuh
bangun dan berupaya keras. Karena kita memandang, bahwa yang dinamakan “hasil”
adalah yang dinilai dari timbangan manusia. Padahal, sebaik-baik yang menilai
usaha kita adalah Allah.
Sehingga,untuk
kasus yang diilustrasikan di atas, mungkin akan muncul perasaan kecewa dan
marah. Meski perasaan tersebut manusiawi, namun dikhawatirkan bisa-bisa merusak
bangunan amal yang sudah diupayakan dengan maksimal sebelumnya.
Berusaha melakukan amal yang terbaik
memang diperintahkan. Bahkan prestasi kita di dunia ini juga diukur dari
siapakah yang lebih baik amalnya. “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Mahaperkasa
lagi Maha Pengampun” (QS. Al-Mulk : 2). Namun kadang kala kita lupa,
bahwa Allah menilai amal dari keikhlasan niat dan optimalnya usaha kita. Bukan
hasilnya.
Hanya Karena Allah
Apalagi,
jika kita memaknai bahwa kebaikan yang kita lakukan kepada suami adalah bagian
dari ibadah kepada Allah, maka sebagaimana amal ibadah yang lain, tak akan
bernilai dan diterima oleh-Nya jika tak memenuhi syarat diterimanya ibadah,
yang salah satunya adalah ikhlas. “Maka
sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya
kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik).” (QS Az-Zumar : 2-3)
Pada
dasarnya, setiap amal yang kita lakukan akan dibalas sesuai dengan apa yang
kita niatkan. “Sesungguhnya segala amal perbuatan bergantung kepada niatnya dan
tiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan” (HR Bukhari Muslim).
Berkata
Ibnu Qayyim rahimahullah, ”Sesungguhnya niat itu laksana ruh, sedangkan
amalan itu laksana badan, jikalau ruh itu meninggalkannya, maka ia akan mati. Karena
itulah, mempelajari hukum-hukum hati itu lebih penting daripada mempelajari
hukum-hukum amalan badan.”
Jika
kita melakukan setiap kebaikan terhadap suami karena Allah, maka kita akan
merasakan ketenteraman jiwa dan ketenangan batin. Karena, kita tidak gusar
dengan penantian mendapatkan pujian maupun penghargaan darinya. Kita tidak akan
pernah merasa kecewa, jika kemudian tak ada pujian atau pun apresiasi lainnya.
Sebab jika kita ikhlas karena Allah, kita akan mencukupkan diri dengan Allah.
Bersama Allah dan berharap pada-Nya, pasti tidak akan kecewa.
Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan jika kita sering kecewa dengan situasi dan
kondisi hidup yang menghampiri kita, jika kita tidak ikhlas karena-Nya. Orang yang
tidak ikhlas akan banyak menelan pil pahit kekecewaan, karena ia memang terlalu
banyak berharap atas sesuatu dari sisi manusia. Sedangkan orang yang ikhlas, melakukan
segala sesuatu tanpa mengharap apapun dari manusia.
Tidak
mudah memang, menjadikan ikhlas senantiasa melandasi setiap amal yang kita
lakukan dalam setiap saat dan setiap waktu. Ikhlas adalah suatu kata singkat
yang sering didengar bahkan mungkin sering diucapkan, yang dalam penerapannya
bukanlah perkara mudah. Namun, justru itulah ujian amal seorang hamba, sehingga
dibutuhkan kesungguhan yang besar, agar dapat melaksanakan amalnya dengan baik.
Suhail
bin Abdullah At-Tusturi rahimahullah pernah ditanya, “Apakah yang paling
berat pada diri manusia?” Beliau berkata “Ikhlas, sebab dengan ikhlas itu hawa
nafsu tidak mendapatkan untung.”
Rincian
berbuat baik pada suami dan berbakti kepadanya sangatlah banyak, begitu pula
dengan rincian dari amalan kebaikan yang kita lakukan terhadap anak, orang tua,
teman maupun tetangga kita. Di antara segenap amalan kebaikan tersebut, kita
harus berjuang dengan
sungguh-sungguh (mujahadah) untuk senantiasa menghadirkan keikhlasan. Dan
orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh, akan diberi jalan kemudahan
oleh Allah, sebagaimana firman-Nya, “Dan orang-orang yang berjuang untuk
(mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut : 69). (Ummu Aman)
0 komentar:
Posting Komentar